Cita-cita yang menjadi kenyataan. Itulah pengalaman hidup yang dialami dr. Centery. dr. Centery kepada Kabari mengaku telah bercita-cita menjadi dokter sejak masih duduk di sekolah dasar.
”Saya berasal dari kota kecil yang profesi dokter itu jumlahnya sedikit. Jadi melihat dokter itu tampaknya sangat hebat, orang yang sangat dihargai, sangat bisa membantu kepada orang lain, dan itu yang mendorong saya ingin menjadi seorang dokter,” ungkap dr. Centery.
Centery lahir dan besar di kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Lalu melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
”Setelah lulus dokter umum, saya sempat praktek dulu sebagai dokter umum kurang lebih 5 tahun termasuk saya pernah mengikuti penempatan tugas dari Pemerintah sampai ke NTT. Kemudian setelah itu saya melanjutkan pendidikan spesialis di universitas yang sama. Selama pendidikan memang beberapa kali kami ada tugas belajar di luar negeri. Saya pernah ikut ke Jepang selama tiga bulan,” kisahnya.
Saat ini dr. Centery melakukan praktek di tiga rumah sakit, yakni RS Murni Teguh Ciledug, RS Mayapada Tangerang, dan RS Primaya di Pasar Kemis, Tangerang. Centery merupakan dokter spesialis bedah syaraf. Apa alasannya memilih spesialis ini?
”Selama menjalani dokter umum, saya bekerja di rumah sakit, bertemu dengan banyak dokter dengan berbagai spesialisasinya. Kebetulan dulu saya bekerja di rumah sakit yang kasus bedah syarafnya cukup banyak sehingga itu yang menjadi trigger buat saya, sehingga muncul ketertarikan saya di bagian bedah saraf ini,” katanya.
Setiap profesi memiliki tantangannya sendiri, termasuk sebagai ahli bedah syaraf. ”Untuk tantangan saya kira mirip dengan bidang spesialisasi yang lain, berkaitan dengan fasilitas yang mendukung untuk bagian bedah saraf itu masih belum juga merata, apalagi terkumpulnya para dokter spesialis itu lebih banyak di kota – kota besar. Bahkan kota besar pun, antara satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain itu juga berbeda alatnya. Ini berdampak pada pelayanan ke masyarakat itu sendiri. Contoh kasus – kasus yang sulit yang tidak bisa kita tangani di Rumah Sakit tipe C terpaksa harus kita rujuk ke Rumah Sakit tipe A yang alatnya lebih lengkap namun karena Rumah Sakit tipe A tidak banyak, berakibat pada antrian pelayanan ke pasien jadi lebih panjang,” urainya.
Profesi dokter adalah pekerjaan yang membutuhkan komitmen 24 jam. dr. Centery mengakuinya. ”Sebagai dokter Bedah Saraf, dimana banyak kasus – kasus yang merupakan kasus gawat darurat. Contohnya kecelakaan yang membutuhkan tindakan atau operasi darurat, terkadang bukan hanya pagi, siang, kadang malam hari pun kita memang dituntut harus selalu siaga. Sebagai dampaknya memang waktu bersama keluarga jadi berkurang. Tapi saya cukup beruntung karena keluarga memahami profesi saya. Sebagai usaha, bila saya tidak ada kegiatan/pekerjaan sebisa mungkin saya meluangkan waktu bersama keluarga,” terangnya.
Hingga hari ini, di tengah variatif profesi pekerjaan, dokter masih menjadi profesi dambaan bagi banyak orang. Lalu apa pesannya, bagi anak-anak yang ingin mengabdikan hidupnya sebagai dokter?
”Buat adik – adik atau pun anak – anak yang bercita – cita jadi dokter, saya kira itu merupakan cita -cita yang baik karena menjadi dokter adalah profesi membantu banyak orang tetapi sama seperti profesi lainnya, masing – masing akan ada kesulitannya. Kalau untuk dokter, saya kira yang penting harus ada komitmen karena kita akan dituntut untuk senantiasa belajar terus menerus sepanjang hidup kita karena ilmu itu akan terus berkembang. Kemudian harus memiliki ketekunan, dan ketiga adalah komitmen. Komitmen itu contohnya di waktu libur kita mungkin tidak seperti profesi lain, tanggal merah pasti libur, kalau kita berprofesi sebagai dokter bahkan tanggal merah pun kita tetap bekerja ataupun visit ke Rumah Sakit,” pungkasnya.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 209
Simak wawancara Kabari bersama dr. Centery, SpBS, Dokter Bedah Saraf dibawah ini.