KabariNews – Menikah dengan seorang pria beda negara tentunya berbeda dengan menikahi pria satu bangsa. Persyaratan dan ketentuan, urusan hukum dan status kewarganegaraan sering menjadi kendala. Nah, merasa satu dalam nasib yang sama, beberapa wanita pelaku perkawinan campur pun tergerak untuk membentuk sebuah organiasai yang anggotanya terdiri dari WNI yang menikah dengan WNA.  Adalah Perkawinan Campuran Indonesia, atau  yang biasa disingkat Perca Indonesia. Organisasi yang telah berbadan hukum ini berdiri menjadi suatu wadah dan ajang curhat bagi para WNI yang menikah dengan WNA.

Perca  membantu memperjuangkan perbaikan hukum untuk lebih mendukung perlindungan dan kesejahteraan pasangan maupun anak hasil kawin campur. Selain itu organisasi ini juga mengajak anggotanya untuk lebih aktif berkegiatan di lingkungan masyarakat secara luas. Bagaimana kiprah Perca Indonesia, berikut petikan wawancara kabari dengan Melva Nababan Sullivan (Anggota Dewan Pengawas Perca Indonesia) beberapa waktu lalu di  wilayah Kuningan, Jakarta Selatan.

Kabari: Dapat diceritakan apa itu Perca Indonesia dan kapan berdirinya organisasi ini?

Perca Indonesia berbadan hukum di Kementrian Hukum dan Ham dan terdaftar sebagai masyarakat perkawinan campuran Indonesia. Perca ini berdiri pada tahun 2008, dimana awalnya ada 96 anggota pelaku perkawinan campuran yang ingin memiliki suatu organisasi. Dalam perjalanan Perca, sejak tiga tahun yang lalu telah membuat website yang bisa dikunjungi www. Percaindonesia.com.

Adapun misi dari Perca sendiri adalah ingin menjadi suatu organisasi atau wadah sarana yang pembawa perubahan pada peraturan perundangan pada keluarga perkawian campuran Indonesia.  Tiga pilar kegiatan dari Perca meliputi advokasi, sosialisasi dan konsultasi.  Dan tahun kemarin  kami banyak mengupayakan  berbagai sosialisasi kepemilikan  khususnya properti pelaku perkawinan campuran. Di Mahkamah Konstitusi (MK) kami mendukung salah satu anggota yang mengajukan perkara soal kepemilikian properti.

Kabari: Soal perkara yang diajukan oleh salah seorang anggota Perca itu?  

Jadi kasus ini dialami oleh Ike Farida yang mengalami pembatalan perjanjian sepihak oleh developer/pengembang properti yang disebabkan hanya karena dirinya Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang. Dan Ike tidak punya pre-nuptial agerrement (perjanjian pisah harta sebelum menikah), tidak terbesit sedikipun bahwa tanpa perjanjian itu dirinya tidak akan pernah bisa punya tanah/rumah/property dengan status Hak Milik (HM) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Sudah banyak upaya yang dilakukan olehnya, namun  dinyatakan WNI kawin campur yang tidak punya pre-nuptial agrrement tidak punya hak untuk memiliki rumah dengan status HM atau HGB. Padahal WNI kawin campur memiliki kewajiban yang sama dengan WNI lainnya, dan sama dimata hukum. Dia memohonkan hak konstitusinya berupa uji material ke MK,  sudah diterima perkara kasusnya dan telah mengalami empat kali sidang.

Kabari: Menikah dengan seorang WNA, ada hak semisal hak properti yang hilang? Bisa diceritakan seperti apa?

Sebetulnya dasarnya adalah Undang-undang Pokok Agararia (UUPA) yang dibuat pada  tahun 1960 dimana itu mengacu kepada kewarganegaraan tahun 1958 yang kalau seorang perempuan menikah dengan WNA dia otomatis ikut dengan status prianya. Kalau laki-laki Indonesia menikah dengan WNI, istrinya harus menjadi WNI. UUPA itu mengatakan dipasal 23 ayat 1 yang intinya seluruh WNI berhak mempunyai tanah dan rumah, kepemilikannya itu hak milik, sedangkan di ayat 3 WNI tidak boleh mendapatkan hak milik. Tetapi jika memperoleh itu istrinya meninggal,  warisan, perceraian, maka hak milik harus diturunkan menjadi hak pakai jika ingin tetap memilikinya. Dan  jika tidak ingin memiliki dia harus menjualnya selama satu tahun.  Di kehidupan nyata, para pelaku kawin campur banyak terzalami terutama hak kita sebagai WNI. Di satu sisi kita tidak lagi mengikuti UU tahun 1958. Sedangkan di UU No.  12 Tahun 2006, dinyatakan WNI sudah tidak perlu lagi menyatakan dia WNI, jadi hak-hak konstitusinya pun mengikuti.

Kabari: Terkait dengan kasus diatas, bagaimana harapan Perca Indonesia?

Tentunya harapan kami hakim-hakim di MK dapat mendengarkan dan bersimpati dengan perjuangan kami.

Kabari: Selain memperjuangkan Isu diatas, isu  apa saja yang diperjuangkan oleh Perca selama berdirinya selama ini?

Isunya tentunya berbeda, Perca Indonesia berdiri tahun 2008 dimana isu kewarganegaraan masih sangat hangat. Seperti diketahui UU itu sifatnya progresif tidak re-gresif dalam arti UU itu diterpakn semenjak diberlakukan itu anak-anak kami memiliki dua kewarganegaraan. Dan anak yang lahir sebelum tahun 2006 harus didaftarkan dengan batas akhir sampai 2010. Kami sangat gencar mensosialisasikan mengenai dwikewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Kami gencar mensosialisasikan tentang batas akhir pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil kawin campur dari tahun 2006 sampai 2010.

Selain itu Perca juga melakukan kegiatan seperti melakukan  Rapat Dengar Umum di komisi 3 pada tahun 2010, untuk membicarakan UU perbaikan dari UU keimigrasian. Disana kami memberikan masukan dan membicarakan permasalahan soal  izin tinggal pasangan kami yang WNA. Awalnya kami fokus pada anak-anak, lalu beranjak ke pasangan kami.  Dan dari Juli 2010, kami sering berjumpa dengan fraksi dan politisi. Dan  UU No. 6 Tahun 2011 akhirnya sudah memasukkan unsur perkawinan campuran.

Kabari: Perca Indonesia, selain di Jakarta apakah juga mendirikan cabang di kota lainnya di Indonesia? dan rencana kedepannya?   

Awalnya berada di Jakata dan sekitarnya. Dan  tahun 2012, Perca membuat perwakilan di Batam yang anggota lebih dari 100. Dan di tahun 2013, kami membuka cabang di Bali yang sekarang ini anggota sudah lebih dari 200 orang. Dan di Balikpapan baru berdiri pada tahun 2015. Dan rencananya, kami akan membuka cabang di daerah Jawa timur, Jawa Barat dan Makassar. (1009)