KaIND tercipta berkat keresahan dari Melie Indarto. Pada tahun 2014/15 Melie melakukan blusukan ke desa-desa di sekitaran tempat tinggal di Pasuruan, Jawa Timur,  untuk mencari tahu ada potensi apa yang bisa dieksplor.

Disana ia menemukan menemukan desa yang membuat tenun dengan segala macam problematikanya. Dari tidak adanya regenerasi, market yang kurang bagus, dan lain-lainnya.

“Jadi saya buat komunitas, disana kita brainstorming, berdiskusi segala hal, bagaimana produk-produknya nanti bisa lebih diterima oleh pasar untuk tenun dan batiknya. Bisa dikatakan berawal dari keresahan. Waktu itu hanya tersisa penenun yang sudah uzur, dimana generasi-generasi mudanya tidak mau melanjutkan,” tutur Melie kepada KABARI.

Berbekal pendidikan serta pengalaman berkarier di dunia mode, Melie membina komunitas itu dan memperkenalkan tren fashion, membangun komunitas, hingga membantu modal untuk bibit, pakan, serta perralatan lain yang dibutuhkan.

Singkat kata lahirlah KaIND yang namanya diambil karena produknya kain. Melie mengatakan IND supaya ada kesan Indonesianya. IND juga inisial dari namanya Indarto. Dan, penyebutannya menyerupai bahasa Inggris ‘kind’ yang artinya baik.

Untuk kain yang diproduksi oleh KaIND  menggunakan Alat Tenun Bukan mesin atau ATBM.  Kalau untuk bahan mulai dari Melie mencari benang yang nyaman untuk dipakai sehai-hari sebagai produk fashion. Melie riset sendiri untuk benangnya. Sementara untuk motif,  ia sering berdiskusi dengan mereka yang paham dengan motif. 

Batik khas Pasuruan yang belum setenar dengan batik-batik khas Jawa lain seperti Solo atau Yogyakarta. Inspirasi untuk motif batik KaIND kebanyakan bersumber dari kekayaan dan kekhasan alam Pasuruan, seperti tumbuhan sedap malam (Polianthes tuberosa) dan serunai (Chrysanthemum). “Pasuruan merupakan salah satu kota pemasok sedap malam di Indonesia. Kalau ke sana, kiri-kanannya banyak pertanian sedap malam,” tutur Melie.

Melie juga mengembangkan motif sendiri seperti Pasir Berbisik yang terinspirasi oleh padang pasir di Gunung Bromo. Motif tersebut menjelma dalam bentuk bunga dengan latar taburan bintik-bintik yang menyerupai pasir.

Produk dari KaIND dibuat di Pasuruan. Produknya dipasarkan dengan model B2C (business to consumer) untuk  baju, sepatu, slop, sandal dan model B2B (business to business) yang dapat di costum oleh buyer.   Awalnya produk-produk KaIND dijual ke teman, keluarga dan kerabat terdekat. Saat dirasa timingnya tepat untuk dipasarkan ke luar, Melie lantas membuatkan wadah seperti website dan sosial medianya.

Tahun 2017, untuk mewadahi permintaan yang kian meningkat, Melie pun resmi mendirikan CV Karya Temanesia guna menaungi kaIND sekaligus mendaftarkan mereknya ke HAKI. Sejak itu, kaIND pun mulai wara-wiri di pameran-pameran, seperti Inacraft, Trade Expo, serta aneka pameran yang dihelat beberapa kementerian.

Melie cukup bersyukur circular fashion di wilayah tersebut,  dari hulu sampai hilir tersedia semua. Jadi ia tinggal  conneting the dot sembari menjaga harmonisasi diantaranya. ”Proses kerja dari awal ke akhir jadi semuanya efisien dan produktif. Produk dari KaIND pun bisa sampai ke Jakarta dan Bali,” tuturnya.,

Bahkan  produk KainID sudah menjangkau ke mancanegara seperti Singapura, Hawaii, Jepang dan negara lainnya. Rata-rata buyernya membelinya by order atau custom dengan tetap mempertahankan lokal wisdomnya. Tidak meninggalkan dari mana asal mereka memiliki kain ini dan itu menjadi salah satu nilai tambah dari KainID.

Akan halnya dengan semua produk dari KainID diproses secara sustainable. Melie mengatakan  budaya Indonesia sudah sangat kental sekali dengan keberlanjutan. Tenun dengan ATBM prosesnya tidak menggunakan listrik atau menggunakan tenaga manusia. Kemudian batik juga prosesnya tidak menggunakan proses kimiawi dan banyak menggunakan warna alam.

Namun menurutnya  sustainable itu tidak harus semuanya serba aman dari segala angle. Penting KainID sebagai brand  selain mengusung sustainable juga harus membawa mindfull-nya.

“Mindfull itu erat banget dengan budaya fashion Indonesia. Seperti saat  kita menetun atau membatik jika bengong sedikit bisa kehilangan fokus , pasti netes kemana-mana. Misal saat menenun, tenunannya akan menjadi berantakan. Jadi unsur mindfull erat dengan culture fashion kita secara holistiknya,” tuturnya.

Sementara secara praktiknya sustainable  menerapkan pewarnaan alam, seluruh benang compostable. Dapat dikatakan workshop dari KainID  sudah  mendukung cara sustainable. Seperti misalnya ada kolom penampungan tadah hujan yang bisa digunakan untuk segala fungsi. Kolam itu digunakan untuk proses prduksi batik mulai dari mencucinya itu semua pakai air ujan. Ada juga kolam filter, air yang digunakan dalam proses pembuatan batik sisanya akan masuk ke kolam filter tersebut. 

Bersama KaIND  Melie ingin memberikan dampak kepada semuanya. “Yang kita kejar adalah impact valuenya semakin besar market penyerapan semakin dampak langsung ke petani.”

Baca juga: