Puteri Widia dulunya adalah seorang cabin crew sebuah maskapai penerbangan. Kemudian berkeluarga, punya anak dan memutuskan berhenti kerja. Namun hasratnya dengan sejarah dan filosofi tak pernah pupus. Di tangannya Kara Tungga lahir.
Saat itu masih bulan Ramadan. Beberapa hari lagi umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, Puteri menyempatkan diri untuk melakukan wawancara dengan KABARI. Tidak bertatap langsung dan hanya melalui sambungan telepon.
Putri pun bertutur panjang lebar mengenai Kara Tungga, brand Batik Pesisiran yang belum lama didirikan. Brand ini diirintis manakala saat dirinya menjadi seorang Cabin Crew yang tentu suka bepergian kemana saja. Kebetulan suatu waktu Putri terbang ke daerah Yogyakarta. Di kota pelajar ini dia mampir ke sebuah butik dan ingin membeli syal batik. Ndilalah, Di butik tersebut ada ibu-ibu pengrajin batik.
Putri ngalor ngidul berbincang dengan ibu-ibu itu tentang motif batik, dari motif larangan, motif kematian, pernikahan dan lain sebagainya. Putri “kepo”, ternyata ada sejarah dibalik berbagai macam motif batik. Tidak ada yang tertinggal, informasi itu menjadi tabungan knowledge bagi dirinya.
“Kebetulan saya punya teman yang kuliah di ISI yang pintar desain batik. Saat itu saya masih sibuk terbang, untuk beli bahan saya minta tolong ke dia, buat pola juga,” tuturnya Putri kepada KABARI
Pada saat pandemi, Putri sama sekali tidak terbang. Mengisi kesibukan, ia membuat brand Putri Widia yang lebih ke batik tulis yang ready to wear. Kemudian saat menikah dan mempunyai anak, Putri memutuskan berhenti kerja sebagai cabin crew.
“Suami saya pernah bilang, kamu jalani apa yang kamu suka. Dari dulu kan suka batik itu saja yang kamu kerjain. Dari Lasem, Cirebon, Madura, Pekalongan, kita pun berdua pergi riset kesana,” katanya.
Putri menjatuhkan pilihan ke Batik Pesisiran. Batik Pesisiran bisa dibilang hasil produk budaya akulturasi antara Arab, Cina, dan lainnya yang melahirkan warna yang menyenangkan. Berhubung juga teman-teman Putri berusia muda dan menginginkan warna plus motif batik yang cerah. Dari situ dirinya terinspirasi menghadirkan warna yang cerah.
Kenapa bernama Kara Tungga? Putri berujar, Kara memiliki arti yaitu sinar sementara tungga berarti mulia. Putri berharap Kara Tungga menjadi sinar mulia yang baru bagi wastra nusantara termasuk batik seraya memberikan perspektif baru tanpa mengurangi esensi pakem batik yang sudah ada.
Batik tulis pesisiran Kara Tungga ingin menghadirkan warna-warna baru, warna yang lebih cerah. Warna cerah identik dengan pesisiran. Berbeda dengan Batik dari Yogyakarta ataupun Solo yang lebih lebih gelap warnanya dengan coklat dan hitam yang lebih mendominasi.
Untuk memproduksi kain batik Kara Tungga, Putri mencari mitra di sentra pengrajin batik pesisiran di pulau Jawa.
“Kita komunikasikan dengan mereka bahwa saya minta motif dengan warna ini, apakah bisa?. Misalnya mereka bisa, saya minta bahan bakunya lebih dari ini, apakah bisa? Jika mereka menyanggupinya kita akan kerja sama dengannya,” jelas Putri.
Putri ingin memperkenalkan batik dengan ide yang baru melalui Kara Tungga. Memberikan inspirasi baru tentang bagaimana cara berkain. “Kita menggunakn batik itu tidak ingin terkesan untuk acara formal saja. Saat kita nongkrong, meeting, atau kondangan pun bisa juga menggunakan kain batik tanpa dijahit dan hanya dililit, makanya kita kampanye berkain kara,” tuturnya. Selain juga Kara Tungga didirikan untuk menyejahterakan para pengrajin di desa-desa pengrajin batik.
Kara Tungga sejauh ini pun menuai respon positif dari masyarakat. Putri yakin jika sesuatu dibuatnya dari hati pasti akan sampai ke hati. Apa yang dilakukannya berawal dari hati dan hasilnya diluar ekspektasi dirinya.
“Tuhan terlalu baik untuk Kara Tungga untuk diberikan pengalaman yang banyak mulai dari mengikuti fashion show, pernah kirim batik juga ke Selandia Baru, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Nah, perihal rencana ke depan, Putri telah menyiapkan lini baru dengan brand yang bernama Svastika. Berbeda dengan Kara Tungga, Svastika lebih ke pakaian yang ready to wear.
“Kara Tungga berharap menjadi salah satu pionir yang menggaungkan kain-kain batik lama untuk kembali dikenal dengan warna yang baru. Kita akan bercerita mengenai batik dengan menghadirkan itu lewat Kara Tungga,” pungkasnya.
Artikel ini juga bisa dilihat di Majalah Digital KABARI 188
Baca Juga:
- Amanaia: Wajah Baru Restoran Legendaris Sunda dengan Cita Rasa Tradisional Indonesia yang Semakin Beragam
- Jangan Tunggu Parah! Yuk Atasi Ketegangan Mata Sebelum Terlambat
- Desember Ini Nobby Hadir di Metropolitan Mall Bekasi dan Rilis Ghazia Collection dan Prastika
- Tingginya Golput di Jakarta, Tunjukkan Rakyat Ingin Perubahan
- Gabriella Vania Couture Akan Harumkan Indonesia di Fashion Show Tunggal “Golden Lotus” di Fuzhou, China