Ayla Zahara Nibras pernah merasa prihatin dan gelisah melihat banyak dari mereka yang tergolong berkebutuhan khusus belum mendapatkan akses ke pendidikan yang berkualitas.

Kegelisahan itulah yang mendorong Siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Jakarta ini untuk melakukan karya inovatif yang dapat membantu kalangan berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Ayla, demikian dara ini akrab disapa, bersama temannya Naila Anindya menggagas aplikasi EDISTA (Education for Diverse and Inclusive Student Transformation and Advancement), yang dirancang untuk mendeteksi kesehatan mental pelajar penyandang disabilitas.

Ayla bersama rekan satu timnya melakukan riset mendalam untuk menemukan akar masalah yang kerap dialami peserta didik berkebutuhan khusus. Gadis yang duduk di bangku kelas XI-6 MAN 4 Jakarta ini mengungkapkan bahwa hampir 3 dari 10 anak penyandang disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan. Ia menambahkan bahwa saat ini ada sekitar 140.000 anak penyandang disabilitas berusia 7-18 tahun yang tidak bersekolah.

Menurut Ayla, sejumlah faktor menjadi penyebab mengapa anak berkebutuhan khusus sulit mendapatkan akses pendidikan yang layak. Minimnya sekolah luar biasa (SLB) bukan satu-satunya penghambat. SLB yang ada pun menghadapi berbagai permasalahan yang tak kunjung terselesaikan.

“Tantangan yang dihadapi SLB umumnya meliputi masalah kendala keuangan, stigma disabilitas, keterbatasan guru, kondisi bangunan, dan tidak adanya fasilitas terapi,” tutur putri Lukman Hakim Eka Wijaya dan Yusi Damayanti ini

Pemerintah melalui program sekolah dan madrasah inklusi, dalam pandangan Ayla belum juga maksimal menjadi alternatif solusi terbatasnya akses pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Sekolah inklusi, termasuk madrasah inklusi, seringkali tidak dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang memungkinkan PDBK menjalani pendidikan dengan nyaman di lembaga tersebut. PDBK perlu mendapat perlakuan sesuai tipe kebutuhan khususnya. Hal ini tentu bukan diskriminasi melainkan sebagai bentuk kepedulian agar PDBK dapat menjalani proses belajar mengajar dengan baik dan optimal.

“Paling tidak, sekolah atau madrasah inklusi punya Guru Pendamping Khusus (GPK). Ketika ada PDBK yang mengalami hambatan belajar, guru tersebut dapat mencarikan solusi penanganan terbaik sesuai hambatan yang dimiliki,” tukas penyuka buku-buku bertema mental health ini menguraikan pendapatnya.

Kegundahan yang dirasakan Ayla tak berhenti sebatas empati. Sebagai siswi madrasah, aplikasi EDISTA buah karya dirinya bersama temannya diharapkan mampu membantu madrasah inklusi dalam memetakan kebutuhan belajar PDBK. Dengan pemetaan tersebut, madrasah inklusi dapat menindaklanjuti ke dalam langkah-langkah konkret penyediaan fasilitas pembelajaran yang ramah bagi PDBK.

“EDISTA merupakan aplikasi user-friendly yang membantu dalam asesmen disabilitas, mendiagnosis masalah kesehatan mental para penyandang disabilitas yang berada di madrasah inklusi. Aplikasi ini juga memudahkan para penyandang disabilitas untuk mengetahui madrasah yang mempunyai program inklusi dan fasilitas yang disiapkan,” terang Ayla penuh antusias.

Jalan Panjang Menuju Prestasi

Kerja keras Ayla bersama tim berbuah manis. Proyek EDISTA berhasil meraih Medali Emas dalam ajang International Invention Competition for Young Moslem Scientists (IICYMS) tahun 2023. Even IICYMS itu sendiri terselenggara atas kerja sama Indonesian Young Scientist Association (IYSA) dengan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat.

Gayung bersambut, prestasi Ayla mendapat apresiasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 2023, penggemar artis multitalenta Maudy Ayunda tersebut dinobatkan sebagai Tokoh Anak Inspiratif berkat riset kreatifnya yang berjudul “EDISTA: Mental Health Checking for Disability Student in Madrasah”.

Torehan emas yang diukir Ayla bukanlah proses mudah. Ada tahapan panjang yang membentuk seorang Ayla hingga akhirnya memilih bidang riset sebagai sarana aktualisasi diri.

Ibunda Ayla, Yusi Damayanti bercerita bahwa Ayla mulanya sempat menekuni beberapa bidang peminatan, tetapi tidak berlangsung lama karena dirinya merasa bosan. Yusi bersama suami tidak pernah mengekang atau memaksakan putrinya untuk mendalami kompetensi tertentu. Ayla dibebaskan untuk memilih sesuai kecenderungan minat dan bakatnya.

Sebagai orang tua, wanita yang berprofesi sebagai ASN Kementerian Agama ini ingin putrinya realistis memahami potensinya dirinya. Setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, dan tidak ada manusia yang ahli dalam segala hal. Oleh karenanya, perlu pengenalan yang baik terhadap diri sendiri untuk fokus mengasah kelebihan yang dimiliki.

“Kami menanamkan dalam diri Ayla bahwa masa depan ditentukan oleh diri kita sendiri. Apapun yang kita lakukan saat ini, menentukan masa depan kita. Setiap orang diberikan 24 jam, tidak ada yang lebih dari itu. Kami membebaskan anak untuk menjadi apapun di masa depan, semua mungkin. Kami ceritakan banyak success story untuk membuka wawasan Ayla tentang kehidupan,” kisah Yusi membuka memori perjalanan pendewasaan putrinya.

Yusi mempunyai prinsip bahwa orang tua harus hadir pada setiap fase perkembangan anak dan momen-momen istimewa yang dilalui sang anak. Kebersamaan itulah yang membuat anak merasa berharga dan menjadi energi tersendiri bagi anak dalam mengatasi problematika yang dihadapinya.

“Ada banyak cara mengapresiasi anak, antara lain dengan memberikan pujian, sentuhan fisik seperti pelukan/ciuman, menemani proses belajar dan berjuang, memberikan hal sederhana yang berkesan, dan menunjukkan rasa sayang serta menghabiskan waktu berkualitas bersama anak,” ujar peraih Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta ini berbagi pengalamannya dalam mendidik anak.

Ayla pun menyadari bahwa sukses yang dicapainya tidak lepas dari dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya. Ia sulit membayangkan bila harus memecahkan tantangan dan hambatan penelitian secara sendirian. Vibrasi cinta dan kasih sayang orang-orang sekitarnya yang membuat dirinya mampu bertahan menuntaskan apa yang sudah dimulai.

“Beberapa kali kami menemui kendala, keluarga dan pihak MAN 4 membantu kami, mendiskusikan permasalahan yang kami hadapi sehingga kami bisa mendapatkan solusinya. Proses meneliti itu ternyata tidak mudah, kami sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan masalah, namun tetap saja dalam prosesnya masih ditemukan hambatan-hambatan tak terduga,” kenang Ayla tentang proses riset yang dilaluinya.

Gadis yang bercita-cita melanjutkan studi di jurusan psikologi klinis itu meyakini bahwa tidak ada produk gagal dalam ciptaan Tuhan. Disabilitas tidak menghalangi seseorang untuk mandiri dan berprestasi. Jangan bersedih ketika gagal karena kegagalan adalah lecutan untuk memperbaiki diri dan menjadi modal untuk sukses di kemudian hari.

Sumber foto: kemenag.go.id

Baca Juga: