Jemparingan, sebuah seni panahan tradisional Jawa, lebih dari sekadar olahraga. Berakar dari kata jemparing yang berarti panah, tradisi ini menggabungkan teknik memanah dengan olah-rasa dan filosofi mendalam.
Sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I, jemparingan berkembang menjadi salah satu cara membangun karakter ksatria dengan nilai-nilai luhur.
Tradisi ini bermula pada tahun 1757, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan sekolah untuk melatih prajurit dan rakyat.
Selain pelajaran teknik perang, jemparingan diajarkan untuk melatih konsentrasi dan membangun watak ksatria melalui empat nilai utama:Sawiji (konsentrasi), Greget (semangat), Sengguh (percaya diri) dan Ora mingkuh (bertanggung jawab)
Dalam praktik tradisional, jemparingan dilakukan dengan busur horizontal, anak panah diarahkan ke dada atau perut, dan bidikan didasarkan pada perasaan.
Filosofi ini dikenal sebagai pamenthanging gandewa pamenthanging cipta, yaitu membentangkan busur seiring konsentrasi yang tertuju pada sasaran.
Saat ini, jemparingan telah berevolusi dengan gaya Paku Alaman, di mana busur diposisikan vertikal dan bidikan dilakukan dengan mata fisik.
Meskipun tekniknya berubah, posisi duduk bersila tetap dipertahankan untuk melatih konsentrasi. Jemparingan kini diakui oleh Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI), yang juga menaungi berbagai permainan tradisional lainnya.
Menurut M. Fauzan dari paguyuban Kober Archery Society, Banyumas, jemparingan lebih menekankan olah-rasa daripada kompetisi.
“Jemparingan itu duduk, melatih konsentrasi, dan mengasah hati. Walaupun ini olahraga, suasananya lebih ke silaturahmi. Peserta sering bercanda, saling ngobrol, dan suasananya tidak seformal panahan modern,” ujarnya.
Fauzan juga menjelaskan bahwa jemparingan dilakukan dengan alat tradisional bernama gendewo. Untuk pemula, paguyuban menyediakan alat latihan, dan dengan latihan rutin, kemampuan memanah dapat dikuasai dalam waktu sekitar satu bulan.
Selain sebagai olahraga, jemparingan menjadi ajang silaturahmi antaranggota paguyuban. Kompetisi jemparingan sering memberikan hadiah berupa sembako atau suvenir, dan pakaian tradisional yang dikenakan peserta disesuaikan dengan daerah asal masing-masing.
“Jemparingan itu bukan soal menang atau kalah, tapi soal mengolah rasa dan membangun kebersamaan. Tekniknya memang sulit, terutama dalam menarik busur, tapi semuanya dilakukan dengan gotong royong,” tambah Fauzan.
Dengan filosofi mendalam dan nilai kebersamaan, jemparingan menjadi warisan budaya yang tidak hanya melatih fisik tetapi juga memperkuat ikatan antarindividu. Tradisi ini terus dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya Jawa yang penuh makna.
Sumber Foto: Istimewa
Baca Juga:
- Satu Sentuhan untuk Perlindungan Kesehatan, blu Health Protection
- Dalam Trailer Resminya, “Waktu Maghrib 2” Tampilkan Teror dan Ketegangan di Desa Giritirto
- Jeep® Wrangler 4-Door Rubicon, Perpaduan Ikonik antara Desain Legendaris dan Sentuhan Modern
- Tiga Kartini Muda Ini Bangun Brand Fesyen Lokal yang Berdayakan Perempuan dan Komunitas
- Morinaga Ajak Orang Tua Berikan Pilihan Terbaik untuk Tumbuh Kembang Optimal Anak Indonesia