Konsep new museology, yang muncul sekitar 50 tahun lalu di Eropa dan mulai merambah Indonesia sejak tahun 1990-an, menandai babak baru bagi museum sebagai ruang budaya yang tidak hanya menyimpan koleksi sejarah, tetapi juga menjadi pusat edukasi, kreativitas, dan kegiatan sosial masyarakat.
Hal ini menjadi topik utama dalam acara Bincang Musea bertajuk Creative Development di Museum yang digelar di Toeti Heraty Museum – Galeri Cemara 6, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Kegiatan ini diinisiasi oleh Museum Layang-layang Indonesia bersama Musea Indonesia: Education & Creative Development, dengan dukungan Yayasan Toeti Heraty Rooseno, Toeti Heraty Museum, dan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Paramita Jaya. Program ini merupakan bagian dari Dukungan Institusional Dana Indonesiana oleh Kementerian Kebudayaan RI dan LPDP Kementerian Keuangan RI.
Hilmar Farid, pemerhati budaya, menyampaikan bahwa museum di abad ke-21 harus menjadi institusi publik yang kreatif dalam mendidik masyarakat.
“Museum tidak bisa hanya mengandalkan koleksi dan berharap pengunjung datang untuk mencari informasi. Di era digital, teknologi memungkinkan akses informasi di mana saja. Tantangan kita adalah mengomunikasikan koleksi melalui platform kreatif dan digital,” ujarnya.
Ketua AMI Paramita Jaya, Yiyok T. Herlambang, menekankan pentingnya inovasi agar museum tetap relevan di tengah perkembangan zaman. Menurutnya, museum harus membawa koleksi ke dalam konteks masa kini dan masa depan agar tetap menarik.
“Jika museum tidak relevan, maka akan ditinggalkan. Kreativitas adalah kunci untuk menunjukkan peran dan makna koleksi museum bagi masyarakat,” jelas Yiyok.
Lebih lanjut, ia mendorong penerapan konsep edutainment dan edutourism sebagai pendekatan untuk menjawab tantangan tersebut. “Ketika museum dapat menyatukan edukasi dan hiburan, pengunjung akan datang dengan rasa penasaran dan antusias. Ini bukan hanya menghidupkan museum, tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan sekitar,” tambahnya.
Senada dengan itu, Karina Mintahir, Museum Ecosystem Enabler, menyoroti perlunya pendekatan kreatif untuk menarik minat masyarakat. “Sering kali orang yang bukan pecinta sejarah merasa bosan datang ke museum. Program kreatif berbasis koleksi dan penggunaan media sosial sebagai pemantik awal bisa menjadi solusi,” katanya.
Karina juga menggarisbawahi pentingnya penguatan citra museum. “Museum harus dipandang sebagai ruang multidimensi yang menawarkan pengalaman unik. Brand image dan pelayanan yang baik sama pentingnya dengan koleksi yang ada,” paparnya.
Menurut Karina, pengembangan ekosistem museum harus dilakukan secara holistik dan melibatkan banyak pihak, termasuk organisasi lokal dan pekerja museum. “Permuseuman bukan hanya tentang koleksi, tetapi juga tentang kolaborasi dan inovasi untuk membangun ekosistem yang lebih baik,” pungkasnya.
Sumber Foto: Istimewa
Baca Juga:
- Lyora, Sebuah Kisah Nyata Penantian Buah Hati Akan Segera Hadir di Bioskop Tahun 2025
- Richie Ren Akan Gelar konser Pada Juni 2025
- Genta Garby luncurkan single baru “Senandung Hidupku”
- Spesial Untuk Base Jam Friends, Base Jam Rayakan Ulang Tahun ke-31 dengan Acara “Unsung Songs – Acoustic Session”
- BPOM Ajak Influencer Kosmetik Gaungkan Produk Lokal Aman dan Berkualitas