Diangkat dari novel karya Remy Sylado, film Ca-Bau-Kan menjadi film yang layak kembali diangkat bersamaan dengan perayaan Imlek 2010 ini.  Ca-bau-kan digarap oleh sutradara perempuan Nia di Nata yang juga merangkap produser. Cerita dari novel “Ca-bau-kan: Hanya Sebuah dosa” memang menarik. Isinya mengupas seluk beluk kehidupan warga keturunan Tionghoa pada jaman kolonial Belanda.

Selain itu film,  Ca-bau-kan adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa Indonesia yang kental pada zaman kolonial Belanda. Digambarkan juga peran warga keturunan Tionghoa dalam perang kemerdekaan 1945-1949.

Menurut bahasa hokkian, Ca-bau-kan berarti “perempuan”, yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Menguntit artinya, pada era 80-an istilah “Cabo” menjadi istilah umum untuk para wanita pekerja seks komersial.

*Sinopsis*

Dikisahkan seorang wanita bernama Tinung (Lola Amaria), terpaksa hidup di rumah bordil sebagai Ca-bau-kan. Suaminya meninggal dunia dan meninggalkan satu anak.  Beberapa tahun kemudian datanglah seorang perempuan keturunan Tionghoa dari Belanda bernama Giok Lan (Niniek L Karim). Dia pulang ke Indonesia lantaran ingin mencari asal usul keluarganya.

Ia akhirnya tahu bahwa Ibu kandungnya adalah wanita Betawi pribumi bernama Siti Noerhajati, dengan nama populer Tinung, seorang Ca-bau-kan yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda. Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang keturunan Tionghoa dari Semarang.

Film ini menarasikan kisah hidup si Giok Lan dan orangtuanya pada jaman kolonial. Tahun 1933 Tinung menjadi Ca-bau-kan di daerah Kalijodo, Batavia, dan sangat populer karena kecantikannya. Tinung sempat menjadi wanita simpanan seorang tauke (juragan) Tionghoa berperangai kasar bernama Tan Peng Liang (Moeljono). Dari Tan Peng Liang, Tinung mengandung anak. Tapi saat sedang mengandung, Tinung kabur dari rumah karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.

Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari cokek kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong (Chossy Latu), seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang yang lain (Ferry Salim), seorang pengusaha tembakau kiau-seng (peranakan Tionghoa) dari Semarang yang sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua pun saling jatuh cinta).

Cerita Ca-bau-kan cukup panjang dan berliku. Tapi alurnya cukup jernih dan mudah diikuti. Pada saat dirilis tahun 2002, film ini cukup mengundang kontroversi, karena mengetengahkan persoalan budaya Tionghoa yang sangat jarang diangkat ke permukaan.

Meski demikian, film ini cukup mendapat apresiasi. Pada perhelatan Asia Pacific Film Festival ke-47, Seoul, Korea Selatan tahun 2002, _Ca-bau-kan_ meraih penghargaan Penata Artistik Terbaik untuk Iri Supit dan _Best Promising New Director_ (Sutradara Pendatang Baru Terbaik) untuk Nia di Nata.

Film ini juga masuk dalam nominasi penghargaan _Foreign Film_ (Film Berbahasa Asing Terbaik) dalam Academy Award tahun 2002. Serta menjadi film resmi 5Oth Sydney Film Festival, International Rotterdam Film Festival dan Women in Cinema Film Festival.

Sutradara : Nia di Nata
Pemain: Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L Karim, Robby Tumewu
Produksi : Kalyana Shira Productions

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?34457

Untuk melihat artikel Film lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :