Tanggal 1 September 1945 sekira dua minggu setelah proklamasi
kemerdekaan dikumandangkan, pemerintah RI mengintruksikan bendera Merah
Putih harus terus dikibarkan di seluruh tanah air.

Intruksi ini disambut penuh gairah rakyat Indonesia, tak terkecuali
rakyat Surabaya. Di berbagai tempat strategis, para laskar pemuda
Surabaya dengan semangat meluap-luap mengibarkan bendera Merah Putih.

Antara lain di teras atas gedung Kantor Karesidenan (Sekarang Kantor
Gubernur Jawa Timur, Jl Pahlawan), dan di atas gedung Internatio. Saat
digelar rapat raksasa di Stadion Tambaksari (sekarang lapangan Gelora
10 November) yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya, para
pemuda mengibarkan berpuluh-puluh bendera Merah Putih.
Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera Merah Putih,
disertai pekik ‘Merdeka’ yang mendengung di angkasa. Walaupun pihak
Kompeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak
berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu.
Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden
perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl
Tunjungan 65 Surabaya.

Peristiwa Hotel Yamato

Mula-mula Jepang dan Indo Belanda yang sudah keluar dari interniran
(lokasi penawanan) menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang
mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori
oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik
Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil
alih gedung-gedung dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti
Hotel Yamato.

Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari)
opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu)
bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.

Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, Jl
Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl
Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan
sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI
(Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Internees).

Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah
pimpinan Mr W.V.Ch Ploegman pada sore hari (18 September 1945, pukul
21.00), mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas
Hotel Yamato, sisi sebelah utara.

Keesokan harinya, 19 September 1945, ketika arek-arek (pemuda)
Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap
Belanda mau menancapkan kekuasannya kembali di Indonesia.

Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar
saja Jl Tunjungan dibanjiri oleh massa.

Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan
diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Wakil
Daerah) yang masih diakui pemerintahan Jepang di Surabaya, sekaligus
sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa
lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr Ploegman dan
kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Belanda
segera diturunkan.

Ploegman menolak, ia malah mengancam, “Tentara Sekutu telah menang
perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang
Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia
Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui.” Katanya. Sambil
mengangkat revolver, Ploegman mengusir Sudirman keluar.

Melihat gelagat buruk, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi
Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan
Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun.
Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat
dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda
menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus
pedang panjang disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.

Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung
menyerang masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka
Hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan
bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat
dalam pemanjatan tiang bendera.

Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda,
merobek yang biru, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa
rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera Merah Putih itu dengan
pekik “Merdeka” berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan
kedaulatan negara RI. (yayat)

Untuk share artikel ini, Klik
www.KabariNews.com/?35788

Untuk

melihat artikel Utama lainnya, Klik
di sini

Klik

di sini untuk Forum Tanya Jawab


Mohon

beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported

by :