Bila ke Bali, jangan berhenti hanya di Badung, Gianyar dan
Denpasar yang meriah. Sekali-kali singgah ke Singaraja. Berkunjunglah ke
kecamatan Kubu Tambahan. Tanyalah kepada orang-orang dimana letak desa
Bengkala. Kita akan mendapati kenyataan yang berbeda dengan Bali yang
gempita.

Di desa itu, sebagian masyarakatnya menderita bisu tuli atau dalam
bahasa lokalnya disebut orang kolok. Kini, jenis ketulian akibat
kelainan genetis itu bergeser menjadi progresif.

Made Tista (43) misalnya, hidupnya berlangsung normal meskipun
seluruh keluarganya menderita bisu tuli. Bukan cuma Tista dan Sukreni,
istrinya, yang kolok sejak lahir. Ayah, ibu, dan dua saudara kandungnya
juga ditakdirkan tuli dan bisu. Tiga mantan istrinya, dua anaknya, dan
kedua saudara ipar Tista juga orang kolok.

Tapi, julukan ‘keluarga kolok’ bukan soal yang serius bagi Tista. Dia
tak menganggap tuli-bisu sebagai aib. “Ini takdir yang tak perlu
disesali,” kata Tista dalam bahasa isyarat.

Bisu-tuli memang bukan hanya diakrabi keluarga Made Tista. Selama
ratusan tahun, Bengkala dikenal sebagai tempat yang banyak dihuni orang
bisu-tuli. Sampai akhir tahun lalu, di desa ini sedikitnya ada 50 orang
kolok yang terkumpul pada sembilan kepala keluarga. Berarti sekitar dua
persen dari total 2.226 penduduk Bengkala. Sebuah angka yang amat
tinggi, mengingat normalnya bisu-tuli bawaan (kongenital) hanya terjadi
pada satu dari 10 ribu kelahiran.

Banyaknya warga penyandang tuli-bisu membuat kehidupan Desa Bengkala
menjadi khas. Interaksi keseharian antar penduduk, normal dan kolok,
banyak diwarnai bahasa isyarat yang mereka ciptakan sendiri. Jangan
bayangkan mereka memakai bahasa isyarat standar internasional. Bahasa
isyarat orang kolok jauh lebih sederhana dan dapat dipelajari relatif
singkat.

Sebagai contoh, bahasa isyarat Orang Kolok untuk makan adalah
mengarahkan jemari tangan ke arah perut dan memegang perut jika lapar.
Selain itu, menggerakkan ujung telunjuk sebagai arti laki-laki dan
menautkan ujung telunjuk dengan ujung jari tengah membentuk lingkaran
yang berarti perempuan. Mengaitkan telunjuk kanan dengan telunjuk kiri
adalah simbol mereka untuk persetubuhan. Praktis, lima banjar di
Bengkala, yakni Punduh Jero, Tihing, Basta, Asem, Kutuh, dan Coblong,
selalu ramai dengan bahasa isyarat yang unik ini.

Penduduk desa Bengkala hidup dalam harmoni. Mereka berusaha membantu
meringankan hidup para kolok. Keluarga yang bisu-tuli bebas dari segala
bentuk iuran wajib untuk upacara adat yang memang banyak. Beberapa
pekerjaan misalnya penggali kuburan, buruh tani, penjaga keamanan
sengaja diberikan bagi orang kolok, yang hampir semuanya tergolong
miskin dan kurang berpendidikan.

Kinerja para kolok tidak mengecewakan. Mereka terkenal sebagai
pekerja yang rajin dan rendah hati. Bahkan pasukan keamanan ‘Hansip
Kolok’ dikenal punya reputasi bagus dan disegani penjahat di Singaraja

Kekhasan fenomena Bengkala ini juga menjadi perhatian dunia. Sejauh
ini, keunikan kampung kolok Bengkala hanya bisa ditandingi oleh sebuah
wilayah di San Jose, Kosta Rika yang juga banyak memiliki penyandang
tuli-bisu. Bedanya, ketulian di San Jose ini terjadi secara progresif.
Daya pendengaran berangsur merosot sejak usia 10 tahun dan lenyap total
di usia 30-an tahun.

Untuk kasus Bengkala, jurnal bergengsi Science menurunkan
laporan yang komplit. Laporan ini berdasar hasil riset yang digelar tim
yang dipimpin Thomas Friedman, pakar genetika dari Institut Nasional
Ketulian dan Kesulitan Komunikasi di Bethesda, Amerika Serikat. Grup
peneliti ini juga beranggotakan Profesor I Nyoman Arhya, ahli biokimia
dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Awalnya, menurut
Arhya, fenomena kolok diduga perwujudan dari sindrom Penren, yang
bersumber dari kekurangan pasokan iodium.

Tapi, dugaan ini tidak cocok. Sindrom Penren biasa disertai gejala
keterbelakangan mental, sedangkan orang kolok cukup pintar dan cepat
belajar. “Buktinya,” kata Arhya, “mereka lihai menari, menabuh gamelan,
atau mengikuti ritual upacara adat yang rumit.”

Kemudian, berdasar pohon silsilah lima generasi yang ditelusuri dari
berbagai dokumen berbahasa Sanskerta abad ke-13 diketahui, bahwa kolok
Bengkala bersumber pada mutasi genetis. Namun, masih belum jelas kapan
dan siapa yang pertama mengalami mutasi gen yang merupakan rangkaian
kode penentu sifat yang diwariskan turun-temurun. Materi genetis yang
berubah itu, Arhya menjelaskan, adalah pita kromosom nomor 17 yang
menjadikan seseorang membawa gen ketulian yang tak dominan atau resesif.
Gen berkode D (dari kata deaf) inilah yang membuat jaringan saraf tidak merespons segala bunyi-bunyian. Dampaknya, indra pendengaran menjadi tidak berfungsi.

Sebetulnya, tak jadi soal jika seseorang hanya membawa satu gen
ketulian. Pendengaran orang tersebut masih tetap normal. Namun, masalah
akan timbul jika lelaki dan perempuan normal pembawa satu gen D (
bersifat carrier) menikah. Secara teoretis, pasangan ini pada
setiap kelahiran punya kemungkinan 25 persen melahirkan anak yang
normal, 50 persen anak normal pembawa gen ketulian, dan 25 persen anak
yang kolok. Ketulian jadi kian luas jika anak-turun pembawa gen ketulian
saling kawin. Hal inilah yang terjadi di Bengkala selama ratusan tahun
karena orang kolok susah mendapat pasangan yang normal.

Hasilnya, fenomena kolok tetap tak terhapus dan cenderung mengelompok
pada garis keturunan yang itu-itu juga. Belakangan, fenomena kolok
Bengkala sedikit bergeser. Pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman, Herawati Sudoyo sedang melakukan riset di Bengkala dan
beberapa daerah lain di Bali. Menurut Herawati, tim peneliti Eijkman
menjumpai sejumlah penduduk yang mengalami ketulian progresif. Kondisi
mereka mirip dengan penduduk San Jose di Kosta Rika, yang daya
pendengarannya berangsur merosot hingga akhirnya hilang sama sekali.

PINTAR MENARI

Ada yang membanggakan dengan masyarakat kolok di desa ini. Menjadi
cacat tak selalu menjadi hambatan untuk berkarya. Selain rajin bekerja,
mereka juga berlatih seni. Bila kita ke Bengkala, setiap sore kita
mendapati para kolok berlatih tari janger. Mereka memiliki grup tari
“Janger Kolok”, yang banyak tampil di pesta hotel-hotel internasional
Bali. Berbeda dengan tari janger di Bali umumnya. Tari Janger Kolok
hanya diiringi dengan gendang dan bukan gamelan lengkap. Grup yang
semuanya bisu tuli ini menarikannya sempurna dengan melihat aba-aba dari
penabuh gendang.

Keunikan itu membuat seorang seniman film Singaraja, Putu Satria
Kusuma membuat film dokumenter tentang kesenian Janger Kolok. Film ini
berhasil meraih juara dua dalam ajang Festival Film Kearifan Budaya
Lokal 2010 yang digelar oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, September tahun lalu. (Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36851

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :