Dibanding 10 tahun lalu, kini batik dalam masa kejayaan. Sekarang, kita bisa memakai koleksi perancang dunia seperti Chloe, Paul Smith, dan Oscar de La Renta yang sering memasukkan unsur batik Indonesia dalam rancangannya.

Ini yang membuat kita bangga. Karena batik pun berkembang mengikuti gerak zaman. Saat ini, batik mendapat dukungan luas di masyarakat karena hampir semua orang punya batik dalam lemari pakaian mereka. Mereka mengenakannya tak hanya dalam acara formal. Remaja tak lagi menganggapnya sebagai busana kuno atau busana orang tua, karena kini mereka memilih batik untuk dikenakan dalam pergaulan sehari-hari dalam berbagai gaya.

Meskipun sudah berhasil menggugah kesadaran dan mendapat pengakuan dunia, batik kita masih punya banyak kelemahan. Banyak hal harus dikerjakan agar masyarakat dunia benar-benar menerimanya. Apa saja itu ?

Jawabannya mungkin; desain batik , teknik produksi, dan metode pemasaran batik yang bertujuan meningkatkan pendapatan perajin batik dan peranan batik sebagai daya tarik wisata.

Di Indonesia, batik memang dekat dengan masyarakat, karena banyak kita jumpai di industri rumahan di pesisir Jawa, Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta) dan beberapa lokasi di Jawa Timur. Tak mudah untuk mengubah kebiasaan yang telah berlangsung bertahun-tahun, malah puluhan tahun. Proses pembuatannya masih tradisional, desain yang membosankan dan upah untuk perajin batik yang masih rendah.

Secara umum, ada tiga teknik pembuatan batik; batik tulis , batik cap dan batik printing. Terlama dan termahal adalah batik tulis. Dari kain putih bersih sampai menjadi selembar kain batik berwarna itu membutuhkan proses kerja setidaknya selama 3 bulan. Semakin banyak warna pada kain, semakin halus motif kain, semakin lama proses pengerjaannya. Batik genthong dari Madura, misalnya. Proses pewarnaannnya memakan waktu selama 6 bulan, baru akan menghasilkan warna yang bagus. Harga perlembar batik tulis beraneka. Dari 100 ribu sampai jutaan rupiah. Semakin banyak warna dan jenis bahan yang digunakan, juga akan mempengaruhi harga.

Dari jumlah itu, berapa yang diterima oleh seorang pembatik tulis ? Jumlahnya mungkin tak lebih dari 800 ribu rupiah setiap bulan! Atau paling banyak 1 juta rupiah. Tahun 2006, mereka hanya menerima sekitar 575 ribu perbulan, bersih. Padahal dengan upah itu, seorang juragan (pemilik produksi) batik tak dapat mengharapkan produk yang berkualitas, karena mereka mengerjakannya dengan tergesa untuk mendapatkan pesanan dan upah yang lebih besar. Perajin batik memang bekerja di rumah masing-masing dan hasilnya mereka setor untuk satu atau dua orang juragan batik.

Ambil contoh Batik tulis Lasem. Batik Lasem yang terkenal di kalangan Tionghoa peranakan di Jawa itu sempat mati suri selama beberapa tahun lantaran penghasilan yang amat rendah. Di pusat batik yang terletak dekat Rembang ini, setiap perajin batik membutuhkan empat hari sampai sebulan untuk menyelesaikan satu produk.

Akhirnya beberapa juragan batik menaikkan upah perajin sehingga mampu menghasilkan produk berkualitas yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa dari mereka mengaku berusaha tetap menghargai sejarah dengan coraknya benar-benar ditulis atau diukir sendiri oleh para perajinnya, bukan dicetak. Beberapa dari juragan batik mengusahakan pelatihan desain. Pada batik Lasem, warna khas masyarakat Tionghoa yaitu merah, biru, dan hijau, tetap dipertahankan.

Seorang pengusaha / juragan batik Lasem bernama Santoso, pernah melakukan pembaharuan. Salah satu yang dilakukan Santoso dan perajin batik Lasem adalah membuat motif yang lebih “gaul” dan disukai anak muda. Selain merangkul pasar yang lebih luas, diharapkan juga bisa mengajak generasi muda untuk mencintai produk khas dalam negeri. Upaya Santoso membuat batik tulis Lasem tampil lebih bergaya dan ternyata turut mendongkrak jumlah penjualan. Jumlah penjualan batik tulis Lasem setiap bulan kini mencapai rata-rata Rp 150 juta.

Selain batik tulis, ada juga batik cap. Batik ini dihasilkan dari proses menempelkan kain dengan alat yang terbuat dari lempengan tembaga berukuran 20x 20 cm atau 24 cmx20 cm sesuai motifnya. Prosesnya tak serumit batik tulis. Dalam sebulan seorang pembatik dapat menghasilkan kurang lebih 100 lembar kain batik. Biasanya batik cap ini dikerjakan oleh kaum bapak – bapak. Harga batiknya sekitar Rp. 30 ribu sampai Rp. 100 ribu.

Selain dua batik di atas, di Indonesia paling banyak ditemukan adalah Batik Print (Printing). Batik jenis ini tak ada bedanya dengan kain textil biasa karena mengerjakannya memakai proses sablon atau komputer. Motif kain serumit apapun dapat dibuat dan warna kain dapat dibuat berwarna warni dalam 1 waktu proses pengerjaan. Biasanya batik print ini dikerjakan olah kaum yang lebih muda. Kapasitas produksi kain ini dalam 1 bulan dapat menghasilkan beratus ratus meter kain. Harganya pun dapat ditekan semurah mungkin, biasanya kain ini dijual per meter / per lembar seperti kain batik.

Harga dan penampilan batik juga ditentukan oleh zat warna yang digunakan. Ada dua macam zat warna yaitu Zat Warna Sintetis (ZWS) dan Zat Warna Alami (ZWA). Zat warna sintetis sangat praktis dan mudah didapatkan dan dijangkau. Warna-warnanya cenderung bermacam-macam. Banyak digunakan untuk batik cetak dan cap yang menggunakan warna cerah. Hanya saja kadang bermasalah di pengolahan limbah, mengingat zat ini adalah bahan kimia.

Zat warna alami (ZWA) awalnya sering dipakai untuk kebanyakan proses batik. Hanya saja lebih rumit dan memerlukan waktu yang lebih panjang dari zat warna sintetis. Kelebihan dari batik ini adalah limbahnya cenderung lebih mudah terurai. Batik yang dihasilkan biasanya berwarna pastel atau kepucatan. Kekurangannya mungkin warna yang kurang beraneka rupa dan proses pengerjaan yang lebih panjang.

Tempat pembuatan batik dan museum batik, kini juga menjadi tempat tujuan wisata yang penting. Mereka yang berkunjung tak hanya dapat membeli batik, namun tersedia kursus untuk membuat batik. Kaum muda juga sangat menyenanginya.

Semua hal di atas memang mempengaruhi keberadaan dan perkembangan batik di Indonesia. Beberapa pihak sudah berusaha melakukan pembaharuan dengan memperbaiki desain, memadukan dua atau lebih corak batik dalam satu potong baju. Warna batik juga tak lagi monoton. Semuanya disambut baik oleh masyarakat Indonesia dan menerimanya dengan memakai batik ini tak hanya untuk acara-acara resmi saja. Semoga selembar kain batik yang mengalami proses panjang dalam pengerjaannya, semakin dihargai oleh masyarakat dan dunia. (Indah)

Untuk share artikel ini, klik www.Kabarinews.com/?37949

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :

intero