Selama lebih dari tiga dekade nama Tan Tjeng Bok
begitu ngetop di dunia perfilman Indonesia,
terutama pada era 70-an. Meski sebetulnya karir aktingnya sudah dimulai sejak
Indonesia belum merdeka dengan torehan tiga film pada tahun 1941.

Bagi penggemar film, sandirwara, serial TV, Tan
Tjeng Bok bukan saja dikenal jenaka. Dialah aktor tiga jaman yang pernah
dimiliki Indonesia.

Tan Tjeng Bok adalah anak tunggal dari pasangan
keturunan Tionghoa bernama  Tan Soen
Tjiang dan gadis betawi asli dari daerah Jembatan Lima bernama Darsih. Perkawinan itu tak
direstui orangtua Tan Soen Tjiang, sehingga ayahnya kawin lagi dengan gadis
Tionghoa yang memberi Tan Tjeng Bok delapan adik tiri.

Tan Tjeng Bok kecil terkenal badung alias nakal.
Kabarnya, dia sering dimarahi oleh ayahnya karena kerap berbuat hal-hal yang
menjengkelkan. Diantara keluarganya yang berkulit putih, warna kulit Tan Tjeng
Bok lebih gelap maknaya sejak kecil dia dipanggil Si Item dan kemudian Pak Item
atau Oom Item.

Perjalanan Karir Yang Panjang

Waktu kecil Oom Item sering bolos dari HollandsChinese School
atau Sekolah Dasar  di Jalan Braga, Bandung.
Berkali-kali gurunya melapor kepada orang tuannya. Sampai kelas tiga, oleh
ayahnya ia disuruh berhenti sekolah.

Setelah tak bersekolah  ikut
rombongan  sandiwara De Goudvissen sebagi
kasung atau pesuruh. Di situ ia mengerjakan apa saja, menyapu,  mengepel, menimba air, membersihkan alat
musik.  Ia tidak digaji, hanya makan dan
pondokannya ditanggung. Usianya baru 13 tahun waktu itu, dan baginya sudah
lebih dari cukup jika boleh menikmati alunan suara Beng Oeng. Tjeng Bok kecil
ini rupanya diam-diam senang tarik suara, dan Ben Oeng adalah penyanyi
pujaannya.

Suatu kali  dia pernah dipaksa naik panggung,
menggantikan Beng, yang kebetulan berhalangan. Walaupun cuma dibekali latihan
kilat, penampilan perdananya ternyata sukses. Tepuk tangan membahana, sedangkan
Item menjauh ke satu pojok terisak-isak. Ia teringat Darsih, ibunya yang hidup
menjanda di Betawi. Tak disadarinya bahwa detik itu awal kariernya sebagai artis
sudah dimulai.
 

Tan Tjeng Bok kecil senang keluyuran malam, meski ayahnya melarang dirinya
keluar rumah. Kalau keluar malam dia senang nonton sandiwara, wayang China,
atau tonil.

Darah seni memang mengalir hebat dalam dirinya, dia tergolong seniman serba
bisa. Dia piawai dalam bernyanyi dan berakting. Dia juga menggemari musik
keroncong. Salah satu lagu yang sering dibawakan adalah lagu keroncong
Mauritsco. Dia pun mulai bergabung dengan berbagai grup keroncong di Jakarta. Mendengar itu,
ayahnya yang tinggal di Bandung
marah besar, karena memandang nista dunia tarik suara yang identik dengan
ngamen. Dia dipaksa pulang ke Bandung.

Tetapi di Bandung, ia tetap saja keluyuran. Malam Tahun Baru
Imlek, ia tetap saja bergabung dengan rombongan Lenong Si Ronda pimpinan Ladur.
Sehabis Imlek, rombongan berkeliling ke perkebunan-perkebunan di daerah Jawa
Barat. Ketika itulah ayahnya tak sabar lagi. Ia diusir, sejak saat itu ia tak
berjumpa lagi dengan ayahnya sampai di tahun 1920-an ketika ia mendengar kabar
si ayah meninggal, sedangkan Ibunya meninggal tahun 1930-an.

Setelah 6 bulan, ia kembali ke Bandung,
Tjeng Bok bergabung dengan Stambul Indra Bangsawan. Awalnya sebagai tukang
membenahi panggung. Belakangan toneel
directeur
(pemimpin pentas), Djaffar Toerki menariknya sebagai pemain
pembantu dan iapun puas.

Tak kerasan di Stambul, ia bergabung dengan orkes Hoetfischer
pimpinan Gobang, ia berkeliling Jawa. Tetap membawa lagu kroncong Mauritsco,
namanya pun mulai tenar.

Bergabung dengan Dardanella

Suatu saat,  ketika Orkes Hoetfischer sedang
pentas di Kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, bertemulah Tan Tjeng Bok
dengan  Pyotr Litmonov  atau Pedro, seorang keturunan Rusia yang
memimpin grup tonil atau opera Dardanella.

Dardanella adalah grup tonil (sandiwara) terkemuka saat itu
di Indonesia.
Reputasinya sudah internasional,  Dardanella yang berdiri
pada 21 Juni 1926 merupakan kelompok kesenian pertama Indonesia pertama yang
memiliki pengakuan Internasional. Mereka pernah pentas menjelajahi empat benua,
dari Singapura, Rangoon, Madras, Calcuta, New Delhi, Bombay, Baghdad, Basra,
Kairo, Roma, Muenchen, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota di Amerika.

Bahkan pertunjukan mereka di Rangoon
dan New Delhi sempat ditonton tiga tokoh besar
politik  modern India:
Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Rabindranath Tagore. Belum lagi, saat
menggelar pertunjukan di Muenchen, pimpinan besar Jerman kala itu, Adolf
Hitler, sempat berniat datang menyaksikan. Akan tetapi, karena alasan
kedaruratan rencana itu dibatalkan.

Di Dardanella, Tan Tjeng Bok alias Oom Item merengkuh puncak karir. Ia
merasa puas. Bahkan lupa daratan. Berkeliling terus, dari Sabang sampai
Merauke. Grup ini memang luar biasa. Dikenal sejak 1915 sampai 1940. Bermain
disetiap kota
berbulan-bulan. Ceritanya hebat-hebat, seringkali karya Shakespeare. Misalnya
cerita Hamlet, Romeo and Juliet, juga cerita 1001 Malam seperti Pencuri dari
Baghdad atau cerita film seperti Tiga Orang Tamtama penembak karangan Alexander
Dumas Pere atau yang dikenal dengan terjemahan Tiga Orang Panglima Perang.

Ia ikut berkeliling Indonesia,
memonopoli satu kurun zaman yang bisa disebut sebagai masa keemasan tonil di Indonesia.
Tan Tjeng Bok dan Devi Dja, salah satu pemain wanita Dardanella yang lain,  tak ubahnya superstar. 

Dalam periode ini,  Oom Item hidup
bagaikan dalam dongeng. Dia bahkan mendapat julukan  “Douglas Fairbanks van Java”(Douglas
Fairbanks adalah bintang Hollywood yang ngetop
pada jaman itu) . Dia juga memperoleh bayaran paling tinggi, seimbang dengan
kualitas permainannya. Sebagai bintang yang paling tinggi bayarannya dalam
Dardanella, ia hidup mewah. Punya mobil sedan 8 silinder merk Studebaker
seharga 2.000 Gulden.

Sementara teman sepermainannya Dewi Dja, belakangan menjadi tokoh wanita
yang dikagumi banyak orang. Dewi Dja orang Indonesia
pertama yang bisa menembus Hollywood.
Dia juga pernah ikut demonstrasi di depan kantor PBB di New
York untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia.

Dewi dja pernah menari atau menjadi koreografer untuk film Road to
Singapore
(1940), Road to Morocco (1942), The Moon and
Sixpence
(1942), The Picture of Dorian Gray (1945), Three
Came Home
(1950) dan Road to Bali (1952). Anaknya yang bernama
Ratna Assan bahkan pernah menjadi salah satu pendukung film terkenal Papillon (1973) yang dibintangi Dustin
Hoffman dan Steve McQueen.

Kembali ke cerita Oom Item, saat bergabung dengan Dardanella adalah peroide
emas dirinya. Dia mengaku sering gonta-ganti perempuan. Dengan uang  dan kepopuleran yang dimiliki tak sulit
memang bagi Oom Item untuk menggaet perempuan.

Tapi seperti dalam tonil yang sering dia mainkan, sebuah ‘sandirawa hidup’
pasti akan berakhir.  Dardanella tutup
layar pada awal tahun 1940-an, Oom Item lalu ikut sandiwara keliling Orpheus
pimpinan Manoch. Kemudian juga Star pimpinan Afiat. Tercata beberapa kali Oom
Item berpindah-pindah grup  Tapi tak
satupun grup-grup itu berhasil mengulang sukses Dardanella

Menjelang Jepang masuk ke Indonesia,
di Jakarta berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik The Theng Tjoen.
Bersama JIF inilah Si Item masuk babak baru dunia perfilman.

Merambah Film 

Sejak Dardanella bubar, praktis hampir tak ada grup tonil
atau sandiwara yang bisa mengulang kejayaannnya. Namun di masa itu pula, dunia
perfilman mulai merambah Indonesia,
meski masih dengan hasil gambar hitam putih.

Selama satu tahun di 1941, Oom Item membintangi tiga film
berjudul “Si Gomar”, “Srigala Item” dan  “Tengkorak
Hidup”. Ketika Jepang masuk dan perang dunia kedua berkobar, dunia film Indonesia
sempat terhenti sebelum menggeliat lagi pada dekade 50-an.  

Pada dekade itulah, Oom item menancapkan hegemoninya di
panggung layar lebar Indonesia.
Dia membintangi sepuluh judul film selama tahun 50-an.

Lalu memasuki tahun 70-an namanya semakin berkibar. Dalam
kurun waktu sepuluh tahun antara 1970 sampai 1980 tersebut Oom Item tak kurang
membintangi 25 judul film.  Suatu jumlah
yang luar biasa pada masa itu.

Filmnya banyak disutradarai oleh Tan Tjoei
Hock
antara lain “Melarat Tapi Sehat” dan “Si Bongkok
dari Borobudur” bermain dengan aktris Sofia WD,
“SiGomar”, “Singa Laoet”, “Srigala Ite”, dan
“Tengkorak Hidoep”. Dalam filmnya kebanyakan Ia berpasangan dengan
aktris Hadijah. Namanya sejajar dengan aktris top pada zaman itu antara lain
Fifi Young, Aminah Cendrakasih, dan WD. Mochtar.

Selama hidupnya Oom Item mengaku kawin cerai mencapai 100 kali. istrinya
yang terakhir adalah Sarmini berasal Bojonegoro yang memberinya dua anak,
Nawangsih dan Sri Anami. Ia menempati sebuah rumah sederhana di Bandengan
Utara, Gang Makmur, Jakarta Kota. Sampai menjelang akhir karirnya,   Dalam film “Syahdu” ia masih sanggup merogoh
honor Rp. 1 Juta dari produser.  

Oom Item kemudian jatuh melarat, lalu pada tanggal 27 November 1979 ia sakit
tua dan dirawat di R.S Husada. Keluarganya bahkan tak punya cukup uang untuk
membayar biaya perawatan.  Oom Item
ketika jaya dikenal suka berfoya-foya dan berpesta. Bahkan beberapa temannya
menyebut dia angkuh dan sombong. Sikap ini kemudian disesali Oom Item di kemudian hari.

 Pada tahun 1980 seorang pelukis Oto
Suastika membuat lukisan potret Tan Tjeng Bok dan di jual uangnya untuk Oom
Item

Ketika dirawat di rumah sakit itu, surat kabar Sinar Harapan juga
sempat membuka Dompet Tan Tjeng Bok dan berhasil menghimpun dana lebih
dari dua puluh juta rupiah untuk membiayai perawatan Oom Item.

Setelah enam tahun sakit-sakitan, pada 15 Februari 1985 Oom Item meninggal dunia,
tanpa meninggalkan harta benda yang berarti kecuali nama besarnya di dunia
perfilman Indonesia

Filmografi :
  • Si Gomar
    1941
  • Srigala Item 1941
  • Tengkorak Hidoep 1941
  • Djula Djuli 1954
  • Melarat Tapi Sehat 1954
  • Rela 1954
  • Bapak Bersalah 1955
  • Djudi 1955
  • Si Bongkok Dari Borobudur
    1955
  • Neng Atom 1956
  • Peristiwa 10 Nopember 1956
  • Peristiwa Surabaja Gubeng
    1956
  • Badai Selatan 1960
  • Honey, Money, And Djakarta Fair 1970
  • Bengawan Solo 1971
  • Kisah Fanny Tan 1971
  • Pendekar Sumur Tudjuh 1971
  • Aku Tak Berdosa 1972
  • Ketemu Jodoh 1973
  • Napsu Gila 1973
  • Si Comel 1973
  • Tabah Sampai Akhir 1973
  • Drakula Mantu 1974
  • Raja Jin Penjaga Pintu Kereta
    1974
  • Ratu Amplop 1974
  • Si Bagong Mujur 1974
  • Si Rano 1974
  • Tarsan Kota 1974
  • Arwah Penasaran 1975
  • Syahdu 1975
  • Kisah Cinta 1976
  • Menanti Kelahiran 1976
  • Ranjang Siang Ranjang Malam
    1976
  • Bang Kojak 1977
  • Donat Pahlawan Pandir 1977
  • Gaun Hitam 1977
  • Yoan 1977
  • Melati Hitam 1978
  • Gadis Telepon 1983
  • Mandi Dalam Lumpur 1984

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews/?33159

Untuk melihat Berita Indonesia / Khusus lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket