Berangkat dari sebuah novel berjudul “Negeri 5 Menara”
karya Achmad Fuadi, sebuah film dengan judul yang sama tentang kisah
persahabatan enam orang remaja yang terjalin di sebuah pondok pesantren,
bermimpi untuk dapat menjelajahi dunia, mulai diproduksi pada awal
bulan Agustus 2011.

Salman Aristo selaku penulis skenario film “Negeri 5 Menara”
mengaku bahwa dirinya sempat mengalami kesulitan dalam menuangkan isi
cerita dari sebuah novel ke dalam film, baik dari sisi cerita maupun angle.

“Membuat film dari sebuah novel itu sama aja dengan cari penyakit sendiri. Saya harus beradaptasi dengan angle. Saya sudah beberapa kali menterjemahkan beberapa novel ke dalam film, ada yang introvert dan ekstrovert. Novel Negeri 5 Menara ini termasuk salah satu novel yang ekstrovert, karena banyak peristiwa di dalamnya,” ucap Salman saat ditemui di Planet Hollywood, Jakarta, Rabu (27/07).

Hal senada juga disampaikan sang sutradara, Affandi Abdul Rachman,
yang mengaku bahwa dirinya harus lebih berhati-hati dalam menggarap film
tersebut, agar dapat sesuai dengan isi cerita pada novelnya.

“Bagi para pemain, kita harus yakin dan benar-benar selektif untuk
menyesuaikan karakter dari isi cerita. Begitu juga dengan lokasi
syutingnya, kita akan syuting dibanyak lokasi, mulai di Ponorogo,
Bandung, Bukitinggi, Danau Maninjau, dan Pondok Pesantren Gontor yang
merupakan pertama kalinya kita syuting di sana, serta satu lagi di
London,” ungkap Affandi.

Film yang diangkat dari novel “Negeri 5 Menara” yang merupakan salah satu novel best seller
dan telah dicetak sebanyak 12 kali, serta telah mendapat penghargaan
dari Anugerah Pembaca Indonesia 2010 sebagai buku terfavorit, serta
masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010 tersebut diharapkan dapat menjadi film yang menginspirasi banyak orang.

“Kita harapkan film ini dapat mengispirasi banyak pihak. Saya kira
kita semua paham, bagaimana definisi film bagus dan inspiratif. Di
televisi banyaf film yang cuma menampilkan kekerasan. Ke bioskop juga
sama saja, pocong atau kuntilanak. KG Production ingin mengisi layar lebar Indonesia dengan suguhan film yang inspiratif dan berpendidikan. Ini film pertama KG Production bekerjasama dengan Million Pictures, tapi sebenarnya sudah ada empat produksi sebelumnya, GARUDA DI DADAKU 2, SANG PENARI, dan NEGERI 5 MENARA,” kata Indra Yudhistira selaku Eksekutif Produser.

Untuk medapatkan para pemain yang sesuai dengan karakter tokoh dalam
cerita tersebut sebelumnya telah dilakukan proses perekrutan pemain
yang dilakukan selama 3 bulan di beberapa kota besar, seperti di
Jakarta, Padang, Bandung dan Surabaya. Dari sekitar 2,000-an peserta
yang mendaftar, terpilih enam orang pemain utama, yaitu Gazza
Zubizzaretha yang akan berperan sebagai Alif, Ernest Samudera (Said),
Billy Sandi (Baso), Rizki Ramdani (Atang), Aris Adnanda Putra
(Dulmadjid), Jiofani Lubis (Raja), Eriska Rein (Satah), dan Meirayni
Fauziah (Nissa).

Diadaptasi Salman  Aristo dari novel A. Fuadi

Di pertengahan tahun 1988, Alif akan lulus SMP. Bersama sahabatnya, Randai, mereka merajut mimpi untuk bisa masuk ke SMA terkenal di Bukit Tinggi, lalu lanjut kuliah di ITB.
Namun mimpi tinggal mimpi bagi Alif ketika Amaknya menginginkan Alif
untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah pesantren di sudut Ponorogo, jawa
Timur. Awalnya Alif memberontak, sampai akhirnya Alif memenuhi pinta
orang tuanya, walau setengah hati.

Ketika Alif tiba di Pondok Madani, hatinya kian remuk. Tempat itu
benar-benar makin ‘kampungan’ dan mirip penjara di matanya. Ditambah
dengan adanya fakta-fakta lain seperti peraturan-peraturan yang ketat
dan keharusan bagi dia mundur setahun untuk kelas adaptasi. Jadi, ketika
sahabatnya Randai sudah kuliah, dia bakal masih setara kelas 3 SMA.

Awalnya, Alif lebih sering menyendiri. Namun, seiring berjalannya
waktu, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya, yaitu
Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya
dan Dulmajid dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara
masjid dan menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik
menara.

Suasana kian menghangat di kelas pertama, saat Alif disentak oleh teriakan penuh semangat dari sang Ustadz: Man Jadda Wajada!
Arti kata itu adalah: Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan
berhasil. “Mantra” ini lah yang menambah motivasi keenam anak itu untuk
bermimpi. Suatu sore, para Sahibul menara, menatap awan dan
bercita-cita untuk keluar negeri. Alif melihat benua Amerika di awan.
Raja menata Eropa, Atang menggambar Afrika. Dulmajid dan Said melihat
Indonesia. Sedang Baso, Asia. Man Jadda Wajada Alif bergeser, dari yang
tadinya berniat untuk keluar dari pondok Madani, menjadi
bersungguh-sungguh mengejar mimpi. (arip)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37137

Untuk melihat artikel Film lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :