Segel terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin belum juga dibuka. Hari minggu (4/9), jemaat GKI menggelar ibadah di luar gereja dan tanah milik GKI. Mereka menggelar ibadah ditrotoar di depan GKI, Jalan KH Abdullah bin Nuh No. 31 Taman Yasmin, Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor.

Sekitar tanggal 18 Agustus mengutip harian The Jakarta Globe, Walikota Bogor, Diani Budiarto menyatakan bahwa alasan pelarangan penggunaan gereja GKI Yasmin adalah karena gereja tersebut didirikan di sebuah jalan yang menggunakan nama tokoh Islam. Ini alasan terbaru Diani untuk alasan pelarangan tersebut.

Abdullah bin Nuh yang menjadi nama jalan di Bogor itu adalah seorang ulama terkenal yang berasal dari Cianjur Jawa Barat. Putra Abdullah yaitu Moh Mustofa sudah dikonfirmasi dan menyatakan bahwa pihak keluarga tidak keberatan dengan pendirian gereja di jalan Abdullah bin Nuh.

“Walikota Bogor Diani Budiarto telah melakukan pembangkangan hukum terhadap putusan MA selama dua tahun dan kini berusaha mengalihkan alasan dengan mengatasnamakan agama lain,” kata Bona Sigalingging, juru bicara GKI Yamin.

Masalah sengketa GKI Yasmin berlarut-larut karena Pemerintah Kota Bogor tidak patuh terhadap putusan Mahkaham Agung (MA). Proses gugat-menggugat ini telah dilalui mulai pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung sampai Mahkamah Agung.

Yohanes Saragih dari GKI Yasmin mengadukan “pembangkangan hukum” Walikota Bogor ini kepada Komisi Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman menindaklanjuti dengan mengundang Wali Kota Bogor, Gubernur Jawa Barat, dan Direktorat Jenderal Kesbanglinmas Kementeri Dalam Negeri untuk dimintai keterangan. Di tengah proses yang dilakukan Ombudsman, pada 1 Juni lalu, MA mengeluarkan fatwa bahwa putusan tertanggal 9 Desember 2010 itu berkekuatan hukum tetap. Artinya, Walikota Bogor wajib melaksanakan putusan lembaga pengadilan tertinggi di Indonesia ini.

Menurut Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Danang Girindrawardana, Surat Keputusan Walikota Bogor tertanggal 11 Maret 2011 tentang pencabutan IMB atas nama GKI Yasmin adalah perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum. “Seharusnya Walikota Bogor berpedoman pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” kata Danang dalam surat rekomendasi Ombudsman.

Karena itu, Ombudsman dalam rekomendasinya meminta pencabutan Surat Keputusan Walikota Bogor tanggal 11 Maret 2011 yang isinya mencabut IMB atas nama GKI Yasmin. Selain itu, kata Danang, meminta Gubernur Jawa Barat dan WaliKota Bogor untuk melaksanakan rekomendasi pencabutan Surat Keputusan Walikota yang mencabut IMB atas nama GKI Yasmin. Selain itu, Ombudsman merekomendasikan agar Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan dalam pelaksanaan rekomendasi Ombudsman.

Sengketa yang berlarut-larut ini mengkhawatirkan. Sebab, selain Wali Kota Bogor enggan menjalankan putusan MA, beberapa kelompok masyarakat juga menyerukan penolakan terhadap IMB GKI Yasmin.

Menurut Juru Bicara GKI Yasmin Bona Sigalingging, ulah kelompok-kelompok yang menolak keberadaan GKI Yasmin membuat jemaat yang melaksanakan ibadah merasa tertekan. Mereka, kata Bona, kerap melakukan intimidasi dan pelecehan terhadap pihak GKI Yasmin yang terpaksa beribadah di trotoar. Setiap Minggu pagi polisi dan satuan polisi pamong praja diturunkan untuk bersiap saat jemaat GKI Yasmin beribadah.

Pola intimidasi kini juga telah berubah. Sebelum Juli 2011, kelompok penentang menggunakan sentimen agama untuk mengobarkan permusuhan terhadap jemaat GKI Yasmin. Pada 3 dan 10 Juli 2011, kelompok penentang ini memobilisasi massa untuk mengintimidasi dan mengganggu jemaat GKI Yasmin yang beribadah di trotoar. Alasannya, lebih berbau sekuler: ibadah tersebut mengganggu masyarakat yang hendak menggunakan trotoar seperti melintas, berdagang, dan pangkalan ojek sepeda motor.

Beberapa organisasi, antara lain, Human Rights Working Group Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Wahid Institute, YLBHI, Setara Institute, Indonesian Law Research Center (ILRC), PGI, dan sejumlah pegiat hak asasi manusia telah menuntut Pemerintah Kota Bogor agar segera mematuhi putusan MA. “Segera buka segel tanah dan bangunan gereja. Izinkan GKI Yasmin beribadah dan melanjutkan pendirian tempat ibadah ditanahnya sendiri,” kata Direktur Program Wahid Institute, Rumadi.

Selain telah menerbitkan kebijakan diskriminatif, kata Rumadi, Walikota Bogor Diani Budiarto sedang menyulut konflik antar-masyarakat. “Kini masalah GKI Yasmin bukan lagi masalah hukum, tapi masalah intoleransi,” katanya. “Masalah hukum selesai setelah Mahkamah Agung mengeluarkan putusan.”

Sesuai Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, atasan terlapor (atasan Walikota Bogor), wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaaanya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi. Artinya, Walikota Bogor sebagai terlapor harus melaksanakan rekomendasi Ombudsman ini paling lambat pada hari ke-60 sejak rekomendasi diterbitkan.

Menurut anggota Ombudsman Budi Santoso, dalam masa 60 hari ini Ombudsman dapat meminta keterangan terlapor dan atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan rekomendasi. “Kita perlu bertanya juga apa kendala-kendala pelaksanaan rekomendasi. Apa kesulitannya,” ujarnya kepada media massa.

Jika sampai batas waktu terakhir, Walikota Bogor dan atasanya tidak melaksanakan rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi. “Kita bisa menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden,” kata Budi Santoso.

Bagi Walikota Bogor, solusinya sebenarnya tidak rumit: laksanakan saja putusan Mahkamah Agung.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37246

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :