Dengan meraih 60 persen suara pada pemilu 2009, Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) terpilih kembali menjadi presiden untuk periode kedua. SBY yang memilih berpisah dengan Jusuf Kalla (JK), lalu menggaet mantan direktur Bank Indonesia Boediono, terbukti masih terlalu tangguh bagi lawan-lawan politiknya. Pasangan ini menang hanya dalam pemilihan satu putaran saja.

Pada masa pemerintahan periode pertama, secara terang-terangan SBY-JK berbagi tugas. SBY mengurus soal kenegaraan, termasuk  diantaranya soal pertahanan keamanan, korupsi, dan hubungan luar negeri, JK lebih fokus pada pembangunan ekonomi. SBY yang terkesan peragu dan tak banyak bicara, sementara JK sebagai penyeimbang memiliki karakter ceplas-ceplos dan cepat mengambil keputusan.

Selama 2004-2009, ada sejumlah kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi makro. SBY cukup sukses menjaga kestabilan inflasi yang ditargetkan rata-rata tidak melebihi 6 % atau tetap terjaga di level satu digit. Meski pada tahun 2005 sempat mencapai 17% dan nilai tukar Rp 13.000 per dolar AS, namun secara keseluruhan kondisi makro perekonomian relatif terjaga. Sejak tahun 2006 hingga 2009, nilai tukar rupiah relatif stabil, berada pada tingkat Rp 9.000- Rp 11.000 per dolar AS.

SBY mengklaim berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) terjadi penurunan angka kemiskinan, tapi di sisi lain jumlah pengangguran justru semakin bertambah. Ada semacam anomali dalam hasil yang didapat, seharusnya dengan ekonomi makro yang stabil, inflasi yang terjaga, pertumbuhan ekonomi yang stabil, bisa menekan angka pengangguran.

Sejumlah pengamat ekonomi mengatakan, penyebabnya adalah pencapaian sektor makro ekonomi ternyata tidak mampu menjangkau sisi-sisi mikro ekonomi yang selama ini menjadi daya dorong perekonomian tanah air. Dengan kata lain, sektor ekonomi kecil dan menengah masih belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Kemudian sektor pertanian yang merupakan mayoritas di tanah air juga tidak banyak tersentuh. Subsidi pertanian justru menjadi komponen anggaran negara yang jumlahnya paling kecil.

Namun secara garis besar, ada delapan kebijakan pemerintahan SBY pada periode pertama yang paling banyak disorot, yakni :

1. Penghematan Listrik

Bulan Juli 2008, pemerintah meminta semua pihak untuk melakukan penghematan energi. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil dalam mendorong kesadaran masyakat akan pentingnya menghemat energi. Namun di pihak lain, banyak yang menilai kebijakan ini hanya retorika belaka.

2. Outsourcing Perburuhan

Desakan buruh untuk menghapus praktik outsourcing perburuhan,tidak digubris pemerintahan SBY. Malah, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri pada tanggal 24 Oktober 2008 yang menyatakan, bahwa kenaikan upah tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi nasional (artinya kenaikan upah minimum tahun 2009 dan 2010 tidak boleh naik lebih dari 6%).

3. Privatisasi BUMN

Privatisasi BUMN merupakan kebijakan dari pemerintahan lama sesuai kesepakatan negara donor (IMF) dengan Indonesia dan diteruskan oleh pemerintahan SBY. Namun transparansi dalam proses privatisasi masih menjadi persoalan utama.


4. Penyelesaian Lumpur Lapindo

Pemerintah menyatakan kasus Lumpur Lapindo menjadi bencana nasional. Keputusan ini jelas merugikan keuangan negara, karena dengan status bencana nasional, maka negara harus turut tanggung renteng (ganti bersama) dengan grup Bakrie, perusahaan yang dianggap paling bertanggung jawab.


5. Pendidikan (Ujian Nasional)

Pemerintahan SBY mengambil alih ‘kekuasan’ sekolah untuk menentukan kelulusan siswa dengan mengadakan Ujian Nasional (UN). UN dianggap hanya mematok kemampuan siswa berdasarkan nilai-nilai akademik semata.

6. Pemberantasan Korupsi

Pemerintah memang terlihat melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi, namun menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik korupsi masih terus menjamur, dan pemberantasan korupsi berkesan tebang pilih.

7. Konversi Minyak Tanah Ke Gas

Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji pada 2006 memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Namun dalam pelaksanaannya terlihat kurang matang, sehingga menimbulkan masalah di masyarakat. Diantaranya, masalah distribusi dan ketidaksiapan masyarakat menggunakan energi gas.

8. Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Lantaran harga minyak dilepas sesuai harga pasar, maka ketika harga minyak tinggi, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM alias menurunkan subsidi BBM. Dana hasil penurunan subsidi itu kemudian di substitusi dengan cara pembagian BLT. Tapi menurut INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), pemerintahan SBY telah melakukan kebohongan publik dengan menyatakan bahwa sumber pembiayaan BLT bukan berasal dari utang. Padahal temuan INFID mengungkapkan, dana BLT didapat dari utang World Bank dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Tanpa mengurangi prestasi-prestasi yang telah diraih, secara keseluruhan rapor SBY masih merah pada periode pertama pemerintahannya.

Kemudian sejak terpilih kembali untuk periode kedua pada Oktober 2009, Presiden SBY langsung mencanangkan program 100 hari pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Ironisnya, belum program 100 hari itu sukses, sejumlah kebijakan SBY dinilai tidak berempati kepada penderitaan rakyat.

Pemerintahan SBY justru nyaris tidak pernah melakukan langkah-langkah penghematan sejak dia duduk sebagai Presiden dalam kurun waktu lima tahun plus seratus hari yang tepat jatuh pada 28 Januari yang lalu.

Meski pada 2007 pemerintahan SBY membagikan dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau pembagian kompor gas gratis, tapi orang tahu bahwa inisiatif itu datang dari wakil presiden Jusuf Kalla, bukan dari SBY.

Secara pencitraan, kebijakan-kebijakannya SBY malah banyak diwarnai penghambur-hamburan anggaran. Tengok anggaran-anggaran tidak penting yang setiap tahun rutin dikeluarkan oleh setiap kementerian atau lembaga negara. Satu contoh, seperti dikutip Harian Sinar Harapan, pada tahun 2008 Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) mengadakan rapat kerja selama dua kali di luar kota yang menghabiskan biaya hingga Rp 3 miliar!

Itu baru satu contoh, padahal lembaga-lembaga pemerintah jumlahnya puluhan. Bisa jadi ratusan miliar uang negara keluar setiap tahun hanya untuk rapat, seminar, diskusi, atau sebagainya. Sementara di pihak lain, anggaran untuk mempromosikan pariwisata Indonesia misalnya, dari dulu tidak banyak berubah.

Dia juga membentuk posisi Wakil Menteri yang tentu saja akan menambah biaya dalam anggaran kementerian. Apalagi menurut sejumlah kalangan, posisi Wakil Menteri tidak diatur dalam undang-undang sehingga dikhawatirkan melanggar konstitusi. Tapi toh, pemerintah bergeming dan tetap membentuk posisi Wakil Menteri meski sampai kini masyarakat belum tahu pasti, dari pos anggaran mana posisi Wakil Menteri ini dibiayai. Sebabnya, dalam daftar pengeluaran negara, alokasi dana operasional hanya untuk 34 Menteri beserta sejumlah staf ahli.

Kebijakan yang saat ini tengah menjadi perhatian masyarakat adalah rencana kenaikan gaji Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan para pejabat negara lainnya. Belum genap mereka bekerja dalam 100 hari pertama, tapi sudah minta naik gaji.

Alasannya, sudah sejak 5 tahun belakangan ini gaji pejabat tidak pernah naik. Alasan lain, ada ketimpangan antara gaji Menteri yang sebulan hanya Rp 17 juta dibanding gaji pejabat BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang notabene di bawah Kementerian. Rata-rata pejabat BUMN memperoleh gaji puluhan juta setiap bulan.

Sejumlah kalangan menilai, alasan ini mengada-ada, karena meski nominal gaji menteri tidak besar, tapi mereka memiliki dana taktis dan dana operasional yang cukup besar. Apalagi ditambah sejumlah fasilitas negara yang mereka nikmati.

Alasan lain, pemerintah menganggap gaji pejabat negara di Indonesia secara rata-rata lebih rendah dari pada gaji pejabat negara lain, sehingga harus dinaikkan. Tapi pengamat malah mempertanyakan alasan ini, apakah kenaikan ini demi gengsi atau demi kinerja yang lebih baik?

Ketidakpekaan pemerintahan SBY terhadap amanat penderitaan rakyat, kembali ditunjukkan dengan langkah pembelian mobil dinas untuk para pejabat negara. Mobil mewah merk Toyota Crown Majesta seharga Rp 1,6 miliar per unit (plus pajak) dibagikan satu-satu kepada pejabat negara. Anggaran pembelian mobil dinas para pejabat itu sendiri berjumlah Rp 126,8 miliar. Sebelumnya, pemerintahan SBY juga membangun pagar Istana Negara yang menelan biaya sebesar Rp 22 miliar.

Kabar terbaru adalah rencana pemerintah membeli pesawat khusus kepresidenan dengan anggaran Rp 700 miliar. Saat ini anggaran yang telah disetujui untuk pembayaran uang muka pesawat tersebut sebesar Rp 200 miliar.  (yayat)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?34493

Untuk melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :