KabariNews – Tragedi Mei 1998 tentu tidak akan pernah hilang dalam ingatan kita. Kerusuhan dan murka massa yang buta dengan kondisi penegakan hukum dan integritas aparatnya yang lemah mewarnai kehidupan berbangsa-bernegara kita saat itu. Kekerasaan seakan menjadi panglima. Selayaknya, situasi ini memberikan kita sebuah sumber refleksi untuk
bisa selalu belajar agar tidak terjerembab dalam sejarah serupa.

Hukum bisa berlaku berlawanan dengan semangat luhurnya bila kuasa berada dalam genggaman si lalim. karenanya, tentu saja, kekerasan dan kebrutalan yang terjadi pada Mei 1998 itu bukan tanpa disengaja, tapi ada pemicunya, ada pelaku dan dalangnya. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada upaya serius untuk penyelesaian hukum bagi kekerasan yang terjadi saat itu, termasuk mengenali dan lalu menghukum secara adil mereka yang terlibat.. Hawa keadilan masih belum berhembus ke arah korban/survivor dan keluarganya. Sebagian saksi dan korban masih bungkam karena tekanan dan ancaman. Sebagian survivor dan keluarga yang berani melaporpun tak luput dari ancaman dan teror. Bahkan, ironisnya, laporan mereka malah dituduh sebagai hasil rekayasa. Tragedi pilu perkosaan massal, contohnya, hanya dianggap sebagai gosip politik belaka. Kesaksian mereka yang menjadi korban tak berarti. Yang lebih menyakitkan, mereka harus hidup terasing dari masyarakat dan ditinggalkan keluarganya. Mereka harus menghadapi stereotip dan stigma ala masyarakat patriarkhal, trauma berat dan kondisi sosial ekonomi yang karut marut. Alih-alih mendapatkan haknya, mereka justru harus mengalami kekerasan dan ”perkosaan” kedua kalinya oleh masyarakat. Tentu saja, hal ini sungguh memiriskan mengingat negara kita adalah negara hukum.

Pengabaian dan Penyangkalan oleh Negara/Kekerasan Negara

Tragedi Mei 1998 tak cukup hanya disesali dan ditangisi, tetapi penting sebagai bahan renungan agar kita lebih waspada dan sadar, berani bersuara, berdaya, dan kritis. Negara sepatutnya bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan dan kerusuhan saat itu. Setiap warga negara berhak untuk hidup aman, tanpa kekerasan, teror dan tekanan, dijamin dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan kovenan lainnya. Nyatanya, Negara melakukan pembiaran, pengabaian dan diam atas kekerasan itu; Negara tidak menunjukkan tindakan serius untuk melindungi warganya hingga banyak orang harus menjadi korban. Negara telah terlibat dalam kekerasan itu.

Lalu, apa pentingnya kita mengangkat kembali isu perkosaan massal? Jelas, sangat penting karena di sana telah terjadi pelanggaran terhadap hak manusia; hak perempuan untuk hidup tanpa kekerasan dalam bentuk apapun telah diabaikan. Negara tidak mampu melindungi hak asasi perempuan yang merupakan hak asasi manusia. Apalagi, dalam perkosaan massal ini, yang terjadi bukan hanya kekerasan berbasis seks dan gender tetapi juga ras, etnisitas, agama dan status sosial dan ekonomi.

Gender, Etnisitas, Ras, Agama dan Kelas

Sangat jelas terlihat, bahwa alasan utama perkosaan massal tersebut adalah pandangan bias gender yang berkembang baik pada pelaku maupun aktor/dalang yang memandang perempuan sebagai obyek kekerasan,
subordinasi dan seksualitas laki-laki. Namun demikian, melihat tindakan ini yang secara khusus menargetkan perempuan etnis Cina, pandangan gender tidak berdiri sendiri. Ada faktor lain yang turut berkontribusi, yaitu kelas, warna kulit, agama, etnisitas dan ras. Kekerasan berbasis etnisitas atau ras terhadap perempuan merupakan contoh yang paling menyolok dari diskriminasi interseksional (intersectional discrimination). Dalam hal ini, ketika kebencian ras dan agama bertambah besar, maka gender akan menjadi “ekspresi” yang signifikan bagi
kebencian tersebut.

Saya sependapat dengan Ita F. Nadia, salah seorang anggota Komnas Perempuan pada waktu itu yang menyebutkan bahwa perkosaan massal di Indonesia merupakan bentuk kekerasan Negara terhadap perempuan yang menggunakan etnisitas dan kekerasan berbasis gender untuk meneror dan menebarkan ketakutan. Ita menjelaskan bahwa kombinasi rasisme dan kekerasan merupakan tendensi militeristik yang menggunakan tubuh perempuan sebagai alat teror (Nadia, Ita. F., (2002), “Indonesia: Mass Rape of Indonesian Chinese Women”, in Rita Raj, Women at the Intersection: Indivisible Rights, Identities and Oppressions, Center for Women Global Leadership, Routger the State University of New Jersey and Nadia, Ita F., (1998), (The Testimony Text), War, Conflict and Genocide, Indonesia: The May Rapes of 1998. Perempuan dijadikan alat antara untuk menghancurkan dan menundukkan satu kelompok dan komunitas dengan menjadikan mereka sebagai obyek kekerasan baik dalam keadaan perang maupun non-perang.

Bangkitnya Gerakan HAM dan Gerakan Perempuan

Tragedi Mei 1998 bukan hanya berisi cerita sedih dan ratapan, tetapi juga perjuangan dan perlawanan kaum perempuan dan semakin tegarnya para korban dan survivor menjalani kehidupan. Tragedi Mei 1998 juga  melahirkan gerakan reformasi yang menginspirasikan konsolidasi gerakan perempuan; solidaritas perempuan juga semakin terbangun. Dimulai dari pembentukan Tim

Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK), penyampaian surat permohonan oleh 22 perempuan dari berbagai latar belakang agama, etnik, dan profesi kepada Presiden B.J. Habibie, terkumpul lebih dari 4000 tanda tangan mendukung pernyataan sikap atas peristiwa kelam di bulan Mei itu. Mereka mengatasnamakan diri sebagai Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (MAKTP), dan menyampaikan pernyataan sikap prihatin terhadap sikap pemerintah yang bungkam dan tidak menunjukkan itikad baik untuk menegakkan keadilan. Terbentuk pula Forum Komunikasi Keluarga Korban Mei ’98 (FKKM), tim penyelidik independen yang terdiri dari anggota Komnas HAM, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tim relawan dan wakil-wakil saksi atau korban, Komnas Perempuan sampai prakarsa 16 perupa perempuan membuat pameran dengan tema perempuan dan masih banyak lagi yang lainnya.

Semuanya dilakukan atas keinginan kuat para penegak HAM dan demokrasi, aktivis perempuan dan mereka yang
prihatin terhadap persoalan ini untuk menolong dan merehabilitasi korban/survivor, menindak tegas para pelaku dan dalangnya, dan mengupayakan agar peristiwa yang sama tidak akan terulang lagi. Di samping itu, konsolidasi gerakan juga penting dalam rangka mendesak pemerintah untuk bertanggungjawab terhadap pembiaran yang terjadi dan mengakui bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia.

Upaya Membangun Solidaritas dan Gerakan Perempuan

Kisah ketegaran para survivor yang dapat kembali melanjutkan hidup merupakan contoh teladan yang penuh inspirasi. Sebut saja misalnya Siska (nama samaran) yang mengalami kejadian yang tidak berperikemanusiaan,
kejahatan seksual dan perusakan payudara. Trauma Siska sangat mungkin belum sepenuhnya pulih dan mungkin tidak akan pernah pulih. Tapi, dengan sepenuh kekuatan yang tersisa, ia kembali menjalani hidup, malanjutkan
kuliah hingga menjadi seorang dokter bedah. Ia berharap untuk bisa mengobati perempuan-perempuan yang menjadi korban seperti dirinya. Tentu saja, pencapaian ini butuh bantuan semua anggota keluarga, teman, pekerja sosial, dan pihak-pihak yang peduli dengan masalah yang dihadapi Siska.

Seorang ibu yang anaknya meninggal terbakar di Yogya Pasar Klender lalu berupaya mencari keadilan demi anak tersayang adalah inspirasi lain. Bersama para keluarga korban lain, sang ibu mendirikan FKKM. Demikian pula kisah Lani (nama samaran) yang menjadi korban perkosaan massal. Sebuah keluarga baik hati membantunya
agar ia dapat kembali meneruskan hidup dengan memberinya kesempatan berdagang bakpao, kue, otak-otak dan siomay. Usahanya membuahkan hasil, bisnisnya membesar, dan pengalamannya ini menumbuhkan kepekaan sosial
yang sangat kuat. Maria dari Manado yang mengalami kekerasan dan diskriminasi hanya karena ia menikahi suami beretnis Cina dan karena ia hanya memiliki anak yang juga mewarisi wajah dan kulit ayahnya. Pengalaman pahit membawa Maria untuk terlibat lebih aktif dalam pekerjaan yang banyak berhubungan dengan penegakan HAM
dan pluralisme.

Perjuangan para korban/survivor dan keluarganya ikut memberikan warna dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia, bahwa korban bukan hanya menjadi perempuan lemah, tak berdaya dan akan menjadi korban sepanjang
hidupnya. Mereka bisa menjadi tegar, berdaya, berani bersuara, lebih peka terhadap persoalan sosial dan menginspirasikan kebangkitan solidaritas. Kita perlu banyak belajar dari mereka, menguatkan solidaritas seraya terus menuntut negara untuk mempertanggungjawabkan pengabaian, pembiaran dan penyangkalan atas peristiwa kelabu perkosaan massal di bulan Mei 1998.

Peran Komnas Perempuan

Komnas Perempuan sejak terbentuknya telah melakukan berbagai upaya demi pemenuhan hak-hak korban. Komnas perempuan diharapkan dapat menjadi ujung tombak bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan
pemberdayaan perempuan serta memediasi konsolidasi gerakan perempuan. Komnas Perempuan menjalankan mandatnya dengan memegang teguh motto ’berpihak pada korban’.

Keberpihakan pada korban dan perempuan, perlu ditopang bangunan prinsip kemandirian, keberagaman, transparansi dan akuntabilitas publik hingga terbentuk Komnas Perempuan yang bisa bergerak solid. .

Sebagai lembaga independen, Komnas Perempuan sangat potensial dalam melakukan kampanye, advokasi, pendidikan publik, monitoring, pemantauan dan penelitian berbagai persoalan perempuan. Kasus Mei mungkin hanya salah satu kasus besar yang terjadi dan masih banyak lagi kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan di Tanah Air yang membutuhkan kerja keras Komnas Perempuan bersama pemerintah, LSM, institusi hukum, pendidikan, pengadilan dan lembaga masyarakat lainnya agar keadilan di bumi Indonesia dapat ditegakkan.(Diah Irawaty)