KabariNews – Tidak sedikit orang Amerika Serikat cinta dengan kesenian dan budaya Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Claire-Marie Hefner. Wanita yang kini menempuh program studi S3 di jurusan Antropologi di Emory University di Atlanta, Georgia, AS ini sudah lama bersinggungan dengan seni dan budaya Indonesia. Bahkan disertasinya pun tentang Indonesia dengan judul Achieving Islam: Gender, Piety, and Education in Indonesian Muslim Boarding Schools.
Kecintaan terhadap Indonesia sudah terpupuk saat Claire dan keluarganya pindah ke Yogyakarta, Indonesia pada bulan Januari 1999. Orang tuamya merupakan Antropolog di Boston University dan berencana melakukan penelitian di Yogyakarta selama satu tahun. Sedangkan Claire saat itu adalah seorang anak kelas tujuh dan mulai menghadiri Yogyakarta International School (YIS). Claire telah melakukan tap dance jazz selama 6 tahun dengan Pam Raff di Leon Collins Dance Studio di Brookline sebelum pindah ke Indonesia. Karena kesukaan pada tari, ia pun tertarik mempelajari beberapa bentuk tari tradisional selama di Indonesia.
Meskipun Claire hidup di Jawa, dirinya merasa lebih tertarik pada jenis tarian dari Pulau Bali. Dengan bantuan dari guru YIS Claire mulai belajar tari Bali dengan Mbak Ketut Suriastini, S.Sn. Tari Bali membuat saya terpesona. Mbak Ketut adalah seorang penari yang spektakuler yang telah pindah ke Yogyakarta untuk belajar di Universitas Seni di Yogyakarta.
Tarian pertama yang ia pelajari dengan Mbak Ketut dan beberapa teman-teman sekelasnya di YIS adalah tarian yang disebut Pendet. Pendet adalah tarian sederhana untuk para pemula. Tarian ini ditarikan untuk menyambut tamu. Claire tampil di YIS pada hari teknologi untuk semua siswa dan orang tua mereka. “Saya masih ingat kegembiraan saya rasakan saat Mbak Ketut membantu kami masuk ke kostum. Kami butuh hampir lima jam untuk bersiap-siap tapi itu layak. Pertunjukan Tari Pendet adalah pengalaman yang indah dan saya tahu bahwa saya ingin melanjutkan studi tentang tari Bali. Beberapa bulan kemudian saya melanjutkan untuk melakukan tarian ini di kompetisi tari, di Yogyakarta.” katanya seperti dikutip members.tripod.com/balinese_dancer/claireswebsite.
Setelah belajar tari Pendet, rekan-rekan dan dirinya mulai mempelajari Condong, bagian pertama dari epik tari Bali yang terkenal, Legong Kraton. Claire preformed tarian ini untuk Y.I.S. juga, kali ini di sebuah pesta di Hotel Amborukmo di Yogyakarta. Ini akan menjadi salah satu yang terakhir kumpul-kumpul sebelum Sekolah YIS ditutup pada awal Mei tahun karena takut kekerasan politik dalam kaitannya dengan Pemilu (pemilu).
Claire dan keluarganya tinggal di Yogyakarta sampai Agustus tahun itu. Selama waktu itu dia bekerja di penitipan Jawa adiknya, Indrya Paramartha, dan melakukan kelas privat intensif dengan Mbak Ketut. Selama periode itu, dia belajar dua tarian baru, yaitu Panji Semirang dan Mergapati.
Pada bulan Agustus 1999, Claire meninggalkan Yogyakarta. Saat kembali ke negaranya, dia menemukan ada gamelan Bali di Boston, Gamelan Galak-Tika di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Claire pun mulai menari dengan mereka. “Saya benar-benar bersyukur bahwa saya telah cukup beruntung untuk dapat bekerja dengan Gamelan Galak-Tika, terutama dengan musisi luar biasa seperti Evan Ziporyn dan seniman tamu lain yang telah bekerja dengan gamelan” kata Claire.
Dalam beberapa bulan pertama dengan gamelan, Claire belajar Panyembrama, tari lain menyambut, dengan sekelompok penari lainnya di bawah bimbingan Cynthia Laksawana, direktur tari dengan gamelan. Claire tampil dengan tarian ini sepanjang tahun.
Bolak balik AS-Indonesia
Pada musim panas tahun 2000 Claire kembali ke Yogyakarta dengan ayahnya. Di sana dia bertemu kembali dengan Mbak Ketut, Mas Nugro, dan semua teman-teman lainnya. Claire mulai sesi dua minggu intensif dengan Mbak Ketut yang terdiri dari 5 jam dari kelas tari sehari. “Saya belajar dua tarian musim panas, Cendrawasih dan bagian dari tarian prajurit, Baris. Setelah hanya reuni singkat, aku harus kembali ke Amerika. Akhir 2000, saya masuk Newton Utara SMA” katanya.
Mbak Ketut menyarankan kepadanya apakah Claire bisa menemukan beberapa bentuk lain dari tari tradisional yang dia bisa belajar, sementara dirinya berada di Boston. Dia menyarankannya untuk mencoba belajar tari India klasik. Mengikuti saran nya, Claire mulai mempelajari tarian klasik India dengan Neena Gulati di Triveni School of Dance di Brookline. Dia juga mulai mempelajari Bharata Natyam, belajar Kuchipudi dan Ordissi.
Pada musim panas 2001, Claire kembali ke Yogyakarta dengan ibunya dan ingin menunjukkan Mbak Ketut apa yang telah dipelajarinya di kelas tari India. Setelah latihan tari ketat selama lima jam tari sehari, Claire mempelajari Wiranata, Teruna Jaya, dan tarian lainnya. Claire kembali lagi ke Boston saya preformed Bali dan tarian India di wilayah Boston serta dengan Gamelan Galak-Tika dan dengan klub budaya yang berbeda di SMA-nya.
Musim panas tahun 2002, Claire kembali ke Yogyakarta untuk belajar tari dan mengunjungi teman-teman lagi. Mbak Ketut ternyata memiliki seorang bayi perempuan cantik, tapi entah bagaimana ia menemukan waktu untuk mengajarinya. Claire belajar dua bagian Oleg Temulilingan, tarian sekitar dua kupu-kupu dan juga belajar peran Garuda dari Legong Kraton. Tak hanya itu , dia juga belajar dua tarian baru dalam dua minggu dengan Mbak Ketut, dan Kebyar Duduk serta Nelayan, tarian memancing.
Seperti dilansir sites.google.com/site/clairemariehefner, Claire menekuni program S3 jurusan Antropologi di Emory University di Atlanta, Georgia. Dia belajar tentang antropologi gender dan seksualitas, modernitas, pendidikan, dan Islam, seperti yang terlihat dari perspektif negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia.
Pada musim panas 2008, Claire melakukan kuliah tamu di sebuah pesantren untuk anak perempuan di Yogyakarta (Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah) di mana Claire diajarkan dalam bahasa Inggris dan program bahasa Arab. Berkat dukungan dari Wenner-Gren Foundation, dia melakukan penelitian lapangan di Yogyakarta, Indonesia mulai Oktober 2011-Juli 2013 untuk proyek disertasinya yang berjudul Achieving Islam: Gender, Piety, and Education in Indonesian Muslim Boarding Schools . (1009)
Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/77386
Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________
Supported by :