Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen yang rencananya
akan dipungut dari pengusaha Warung Tegal (Warteg) di Jakarta per 1 Januari
2011 banyak menuai kritik dari berbagai kalangan.

Meski tergolong sederhana, rumah makan yang pemiliknya tidak
selalu orang Tegal itu ternyata bisa menghasilkan sekitar Rp 60 juta per tahun.
Harganya yang murah merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi para
konsumen.

Pengelola warteg mengaku keberatan dengan kebijakan baru Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta ini yang akan memungut pajak restaurant yang omsetnya
sekitar 167.000 per hari

Warti (42) pemilik warteg di Sumur Batu, Kodam Jakarta Pusat,
menolak keras pemberlakuan pajak warteg, “Kalau sampai ini diberlakukan
pemerintah terlalu kejam. Lebih baik tutup kalau sepi, kita ganti profesi”
ungkapnya.

Keuntungan warteg yang tidak seberapa, menjadi salah satu
alasan banyak pengelola keberatan dengan kebijakan yang saat ini sedang dikaji
ulang. “Untung kita enggak gede, hanya
dengan uang Rp 4000 – 15.000 orang sudah bisa kenyang. Nah kalau dipajak berapa
yang harus kita jual. Semua bahan pokok pada naik,” ungkap wanita yang sudah 20
tahun lebih berusaha warteg.

Meski belum diberlakukan, Warti mengaku sudah merasakan
imbasnya. Warung yang biasanya ramai jadi sepi karena kabar pemungutan pajak
mulai tersiar ke masyarakat. “Sekarang sepi, mungkin banyak orang mengira harga
warteg udah dinaikkan. atau mungkin pelanggan jadi berpikir, dari pada makan di
warteg mahal lebih baik ke mal, lebih dingin, nyaman, bersih harganya pun sama.
” paparnya.

Wanita berjilbab ini, menyanyangkan kebijakan pemerintah, menurutnya
ada kepentingan yang seharusnya lebih dipikirkan pemerintah. “Kenapa ngga
berpikir untuk lebih mensejahterakan rakyat, itu banjir diurus dulu, macet
dimana-mana, atau kasih makan pengemis. Bukan ngurusin warteg yang untungnya
kecil,” paparnya.

Bicara omzet, Warti mengaku bahwa mengelola warteg
mendatangkan keuntungan yang tidak terlalu besar. Per bulan, dia mengaku
mendapat untung kotor sekitar Rp 7 – 9 juta. “Itu masih dibagi buat bayar
kontrakan, pegawai, sekolah anak, hidup sehari-hari. Segitu saja ngga cukup”
imbuhnya.

Sebagai pelanggan setia warteg, Rani pun tidak setuju dengan
kebijakan baru ini “Tidak sesuai saja, warteg
itu identik dengan orang kecil, kalau dinaikkan kasian untungnya juga enggak
seberapa. Kalau kena pajak otomatis harga naik, ini makin bikin susah orang Indonesia cari
makan,”ujarnya.

Karena banyak menuai kritikan, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo
atau biasa disapa Foke akhirnya memutuskan untuk menunda penandatanganan Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang didalamnya menyangkut
pajak rumah makan dan minuman.

Tetapi dia tidak menyebutkan sampai kapan penundaan itu berlangsung. Ia
menyerahkan keputusan tersebut kepada Badan Legislasi Daerah (Balegda), yang
akan membahas lebih lanjut mengenai Raperda itu. Foke mengisyaratkan untuk
tidak membatalkan pajak restoran karena hal itu merupakan amanat dari
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-undang tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan
pajak daerah maksimal sebesar 10 persen, termasuk pada jenis usaha makanan dan
minuman.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36058

Untuk melihat artikel Jakarta lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
_______________________________________________

Supported by :