KabariNews – Di era perubahan jaman apapun, bahasa tetap dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk berinteraksi. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga diartikan sebagai lambang identitas suatu bangsa atau daerah. Namun jika bahasa itu sendiri sebagai identitas tidak dipertahankan dan dilestarikan, maka bahasa itu dengan sendirinya akan tergerus oleh jaman. Perlu tindakan kongkrit untuk mempertahankan dan melestarikannya.

Bagi kang Parto, seorang penyiar Radio Suara Akbar Jember, Jawa Timur yang selama 22 tahun mendedikasikan diri mengasuh sebuah program acara yang mempergunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa tidak hanya sekedar untuk berintraksi dengan pendengarnya, Namun baginya, merupakan salah satu cara untuk melestarikan bahasa Jawa. Selain itu, Ia menggunakan bahasa Jawa sebagai identitas atau ciri khas acara yang diasuhnya.

“Acara ini namanya Jawilan, yang diambil dari bahasa Jawa yang berasal dari kata Jawil”. Kata Kang Parto ketika di temui Kabari saat siaran, Sabtu (04/11).

Jika punya teman atau saudara di jawil (sapa-red bahasa Indonesia) lewat acara yang ia bawakan mulai pukul 23.00 hingga 01.00 WIB.

Laki-laki yang memiliki nama asli Partu ini, selanjutnya menceritakan awal mula dirinya membawakan acara Jawilan mulai tanggal 1 Januari 1995. Bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Jawa dan lagu-lagu yang diputar untuk diperdengarkan juga berbahasa Jawa berirama dangdut, klasik, campursari, Banyumasan, Madura, dan kadang diselingi dengan irama khas Banyuwangen (Banyuwangi-red).

Kang Parto tidak asal begitu saja memutar lagu-lagu berbahasa Jawa, ia memilah-milah terlebih dahulu lagu-lagu tersebut, agar lagu  yang diputar dapat memberikan hiburan yang sehat.

“Memang sengaja diset seperti itu karena saya juga melihat kultur yang ada di Jember”, jelasnya.

Jember memiliki beragam  kulture dan bahasa yang disebut Pandalungan, antara lain bahasa Madura, Osing (Banyuwangi), Bahasa Jawa Mataraman, dan bahasa Jawa Jember itu sendiri. Sehingga acara Jawilan ini dapat diterima oleh semua kalangan yang berada di Jember.

Seiring perjalanan waktu, penggemar acara Jawilan semakin bertambah, tidak hanya dari kabupaten Jember saja. Namun juga dari kabupaten-kabupaten disekitar Jember, seperti dari Kabupaten Malang, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Hingga akhirnya pada tanggal 19 April 1995, terbentuklah komunitas penggemar acara Jawilan yang bernama Mija Rasa (Mitra Jawilan Radio Suara Akbar).

“Anggotanya tidak bisa terditeksi, sampai berapa ratus dan berapa ribu jumlahnya”, tutur Kang Parto.

Bapak tiga anak ini menjelaskan alasannya, karena disamping dari lokal Jember dan dari kabupaten-kabupaten disekitar Jember, penggemarnya juga ada yang dari Serang, Maluku, bahkan dari luar negeri dengan sistim online.

“Ada yang dari Hongkong, yang kadang kala mereka kangen pada Jember, kangen pada Jawa sehingga mereka bisa kirim-kirim salam”, ungkapnya.

Untuk menggalang kebersamaan, dalam komunitasnya dilakukan kegiatan-kegiatan seperti anjangsan yang diselingi dengan acara arisan secara rutin setiap bulannya. Bahkan pada setiap hari jadi Mija Rasa, sudah kesekian kali di lakukan wayangan sebagai pelestarian budaya.

Kang Parto juga tidak menyangka, dirinya  bisa bertahan hingga 22 tahun dan hampir 23 tahun mengasuh acara Jawilan.

“karena tujuan kami adalah nguri-uri budoyo (menjaga budaya-red), agar bahasa Jawa tetap dilestarikan oleh banyak orang”, jelasnya.

Disisi lain, kata Kang Parto, acara Jawilan kemudian berefek pada jenis-jenis kesenian yang dikembangkan. Namun, dirinya dan Radio Suara Akbar hanya memberikan rangsangan dan motivasi akan perkembangan pada kesenian.

Tujuan lainnya dari acara Jawilan memberikan pembinaan kekeluargaan, tidak membedakan apapun, baik dari segi pekerjaan, agama, suku, mapun tempat tinggal. Hal itu yang menjadi kebanggan bagi dirinya dan komunitas Mija Rasa.

Kang Parto juga mengungkapkan kendala saat pertama dirinya mengasuh acara Jawilan. Yang pertama, Jawilan merupakan acara radio swasta yang pertama di Jember dengan menggunakan bahasa Jawa. Kemudian yang kedua, dalam mencari lagu-lagu berbahasa Jawa cukup kesulitan, karena pada saat itu masih berbentuk kaset, CD pun belum ada. Kendala berikutnya, perlatan masih belum secagih pada saat ini, termasuk jaringan komunikasi. Bahkan dirinya harus berburu kaset lagu-lagu yang berbahasa Jawa ke daerah lain.

Dalam segi bahasa pun demikian, karena di Jember bahasanya sudah Pandalungan, sehingga masyarakat masih banyak yang bertanya apa artinya dalam sebuah kata jika di sampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa mataraman.

“Bagi mereka seolah-olah ada sebuah arti baru bagi yang muda-muda. Namun yang tua-tua, mereka mengerti artinya” ungkapnya lagi.

Kang Parto  merasa senang dirinya menjadi seorang penyiar yang menggunakan bahasa Jawa sebagai interaksinya. Karena menurutnya, bahasa daerah di nusantara ini sudah banyak yang hilang karena tidak ada yang memakai. Dan bahasa Jawa itu sendiri sudah banyak berkurang, Karena anak-anak sekarang bahasa ibunya bukan bahasa Jawa.

Padahal lanjut Kang Parto, di dalam bahasa daerah mencerminkan nilai yang luhur dan ada nilai kesopanan. Karena disitu bisa menghormati orang dengan menggunakan bahasa. Dan identitas orang Indonesia yang ramah akan hilang jika bahasa daerah hilang. Bukan hanya nilai budaya pada perilaku manusia Indonesia, tapi dari kesenian juga akan hilang.

Kalau sudah tidak ada yang memakai bahasa Jawa, siapa yang akan nonton wayang, siapa yang akan nonton ketoprak?

Kang Parto berharap dan semoga tidak hanya wacana, tapi laku yang nyata, kita lestarikan seni budaya kita yang Adiluhung (tinggi mutunya-red) peninggalan nenek moyang. Karena kita sudah tidak membuat, kita hanya tinggal menikmati dan melestarikan. Karena di dalamnya mengandung pesan-pesan kepada kita.

“Ayo kita lelestarikan bahasa Ibu, apa itu bahasa Jawa, Madura, Surabaya, dan bahasa daerah lainnya”, pungkasnya.

Karena disitu kita memberikan pelajaran nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dan ada sesuatu dibalik bahasa daerah. (Kabari 1003, foto dan video 1003)