Enceng Gondok (Elchhornia crassipes-red latin) salah satu tumbuhan air yang mengapung yang pertumbuhannya dan penyebarannya sangat cepat sehingga tanaman ini dianggap sebagai gulma dan dapat merusak lingkungan perairan. Tanaman ini dengan mudah menyebar melalui saluran air ke saluran air lainnya.

Di beberapa daerah di Indonesia enceng gondok mempunyai nama lain, seperti di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, kemudian di Suku Dayak dikenal dengan nama liung-liung, di Manado dengan nama Tumpe, dan di Palembang dengan nama Kelipuk.

Di balik itu, tanaman yang pertama kali ditemukan oleh seorang ahli Botani berkebangsaan Jerman, Friedich Philipp von Martius ini, memiliki manfaat dan bagi sebagian orang menjadi matapencaharian, meskipun dianggap sebagai tanaman gulma.

Namun, di tangan Suladi (41) seorang warga Desa Kemlagi, Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur ini, enceng gondok disulap menjadi barang kerajinan yang bernilai ekonomis. Di tangannya, Enceng gondok dijadikan kerajinan berupa tas, sandal, basket, topi, tempat tisu, box, dan aksesoris lainnya.

“Saya membuat kerajinan ini sudah selama tujuh belas tahun,” kata Suladi ketika ditemui Kabari disela-sela acara Gelar Seni dan Budaya Kabupaten Mojokerto di Taman Budaya Cak Durasim, Surabaya, Jumat (05/04).

Kemudian Suladi menceritakan awal mula menjadi pengrajin enceng gondok, sebelumnya bapak satu anak ini merupakan peternak jangkrik. Karena dinilai kurang ekonomis, Suladi mencoba upaya lain. Dari salah satu temannya, Suladi mendapat informasi ada pelatihan usaha yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto.

Dari dorongan dalam dirinya yang kuat untuk membuat usaha dan untuk merubah nasib, Suladi mengikuti pelatihan usaha tersebut, hingga akhirnya ia menemukan bidang usaha di kerajinan suvenir.

“Pada awalnya, saya mendapatkan order yang lumayan,” tuturnya.

Namun, usaha suvenir yang ia jalani belum bisa merubah nasibnya. Untuk mengembangkan usahanya, ia mencoba terus belajar hingga pergi ke Jogjakarta untuk melakukan studi banding.

Dari hasil studi banding yang ia lakukan, Suladi akhirnya menemukan usaha kerajinan enceng gondok yang ia tekuni hingga saat ini.

Pria yang lahir dan besar di bumi Mojopahit ini, kemudian menceritakan proses pembuatan kerajinan enceng gondok dari mulai bahan baku hingga menjadi produk kerajinan enceng gondok yang siap dipasarkan. Pada awalnya, Suladi mengambil batang tanaman enceng gondok untuk kemudian ia jemur selama dua hingga tiga Minggu (tergantung dari kondisi cuaca) sambil dibolak-balik hingga benar-benar kering merata. Setelah itu, kedua ujungnya diikat untuk selanjutnya dilakukan pengasapan.

“Pada musim penghujan, karena kurangnya sinar matahari warna enceng gondok akan menjadi kusam. Tujuan pengasapan agar warna enceng gondok yang sudah kering menjadi lebih cerah,” ungkapnya.

Untuk kemudian lanjut Suladi, enceng gondok yang sudah melalui proses pengasapan tersebut selanjutnya bisa dibuat kerajinan.

“Dalam satu hari pengrajin bisa membuat kerajinan tas sebanyak empat buah, tergantung ukurannya,” kata Suladi lagi.

Suladi juga mendapat bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto berupa pelatihan membuat desain produk untuk kerajinan enceng gondoknya.

Ditanya soal pemasaran, Suladi menjawab, selama ini pemasaran yang ia lakukan hanya sebatas menitipkan pada galeri-galeri yang berada di beberapa kota di Jawa Timur dan kota-kota lainnya di luar wilayah Jawa Timur. Selain itu, melalui order yang datang langsung ke tempat usahanya serta dalam event-event pameran.

“Pernah saya dapat tawaran untuk diekspor, namun tenaga pengrajin tidak mencukupi dengan jumlah order dan waktu yang ditentukan,” ujar Suladi.

Tapi lanjut Suladi, pernah wisatawan dari Belanda datang ke rumahnya sebagai memborong hasil kerajinannya untuk dibawa ke negaranya.

Dari usaha kerajinan enceng gondok, dalam satu bulan Suladi bisa meraup keuntungan bersih sekitar Rp. 5 juta setelah dipotong dengan biaya operasional dan gaji karyawan. “Saat ini saya memiliki lima pengrajin,” ucap Suladi.

Soal kekurangan tenaga pengrajin menjadi kendala utama bagi Suladi. Karena akan memengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan.

“Kemarin dengan tiga puluh lima tenaga pengrajin saja hanya menghasilkan lima ribu pcs. Jadi tidak memenuhi permintaan eksport yang mencapai lima belas ribu psc,” ungkapnya.

Suladi membandrol harga produk kerajinan enceng gondoknya mulai dari harga Rp15 ribu hingga Rp300 ribu.

Suladi berharap, kendala yang selama ini ia alami bisa teratasi hingga bisa melayani pasar ekspor dengan terus melatih tenaga pengrajin di desanya.

Selain itu, Suladi juga ingin memiliki galeri sendiri. Selama ini, rumahnya yang juga sebagai tempat produksi kurang memenuhi syarat untuk dijadikan galeri produk kerajinannya.