KabariNews – Perceraian kedua orangtuanya membuat Nurrohim tumbuh menjadi anak berandal. Bahkan sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Boim panggilan akrabnya telah lari dari rumah. “Orangtua cerai waktu saya masih SD. Tiap minggu saya berurusan dengan kepolisian, berantem, berebutan lahan parkir di Tanah Abang. Tapi saya termasuk bersyukur, beruntung, di saat saya belum memahami dan membedakan yang baik dan benar, tapi kakek dan keluarga, mereka tetap perhatian dan menyayangi saya dalam kondisi apapun, dia bawa saya ke pesantren,” cerita pria yang hobi olahraga ini.

Diakui Nurrohim kepergiannya dari rumah karena kurang perhatian dan kasih sayang. Padahal orangtua termasuk keluarga mampu. “Ayah saya itu pedagang kaya di Tanah Abang, Ibu saya buka kantin di situ. Ketika mereka cerai, saya diasuh oleh kakek. Saya anak tunggal yang bikin pusing keluarga. Suka main di pasar, terminal, stasiun. Kadang-kadang ga pulang, tidur di gerbong kereta, pas bangun udah sampe Merak,” cerita tertawa. “Ikut kuli panggul di pasar, saya baru bisa makan. Nanti baru saya dicari ama keluarga, dikasih makan, disuruh ganti baju, ntar pulang baju udah robek,” sambungnya.

Karena pernah hidup di jalanan, ia mengaku kedekatan dengan anak jalanan, pengamen, dan anak-anak marginal lainnya sudah menyatu dengan kehidupannya. “Untung saya ga jadi preman, tapi primus, pria musola, jadi tidur di musola,” katanya.

Meski dikenal bandel, ia mampu merampungkan studi S1. Nurrohim menyelesaikan studi S1 jurusan Manajemen dari STIE Trianandra dan Fakultas Hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM. “Saya mendapat tawaran S2 tapi belum diambil, saya lagi mendalami bisnis dulu, biar ga ketergantungan dengan para donator, setelah bisnis ini mapan, biar adik-adik saya dulu yang S2. Saya S2 setelah semua usaha ini jalan,” pungkasnya. (Kabari1009)